Rabu, 10 September 2008

KEBIJAKAN ANGGARAN dan KONTROL PUBLIK

Moh. Sulhan


" BPD Atau Badan Perwakilan Desa, dapat disebut berhasil dalam program
dan peranannya di desa, jika Tajuk / musola makmur jama'ahnya"
[dikutip dari pengarahan Bupati Kuningan dalam pertemuan
Asosiasi BPD - LPM 2003]

Pernyataan di atas, sekilas menampakkan pesan moral yang dapat memberi kesan baik, perhatian pada kehidupan keagamanaan, religiusitas, bahkan pembelaan pada masyarakat beriman yang menjadi ciri khas pedesaan. Apalagi dalam banyak pertemuan seorang pejabat sering menyebut ayat-ayat suci Al-qur'an, dan sering berkunjung ke pesantren, semakin menambah legitimasi pada dirinya. Masyarakat dan para pemujanya tidak segan dengan memberi label "Pejabat sholeh", "Pejabar Baik", "Pejabat yang punya kepedulian pada Pesantren ".
Namun dalam konteks kekuasaan politik seperti Bupati misalnya, pantaslah ia sekedar dilihat dari sudut pandang kepandaianan menyebut ayat yang sebenarnya menjadi otoritas agamawan ? Kenapa tidak bicara tentang program kerja yang menjadi tanggung jawabnya ? Bagaimana kemiskinan dan problem pengangguran serta implikasi sosial di daerah kewenangannya ? Berapa besar anggaran belanja daerah yang di siapkan untuk kepentingan pemberdayaan rakyat ? Meminjam istilah Clifford Geetz gejala seperti ini bisa menjadi semacam kedok dari resignasi, dan bersembunyi dalam belenggu ketakberdayaan masyarakat agama, yang kemudian memunculkan religious feodalism. Pernyataan seperti itu dapat menjadi tabir, mengelak dari kenyataan riil dan menggiring masyarakat pada kehidupan spiritualitas unsich. Masyarakat digiring untuk sekedar mengurus masalah peribadatan, musholla dan masjid. Logika birokrasi seperti ini dapat berbahaya, dan mematikan kritik masyarakat, partisipasi, serta membuat jarak diametral: masyarakat hanya boleh tahu persoalan agama dan tak usah perduli pada masalah kekuasaan. Biarlah kekuasaan itu menjadi urusan pejabat. Masyarakat dininabobokan dan dilemahkan, tak punya akses sama sekali ikut terlibat dalam urusan dan pengambilan kebijakan atau keputusan. Akibatnya, ketimpangan menyolok dalam distribusi anggaran tak pernah mendapat perhatian dari khalayak, agamawan, pesantren, LSM, Akademisi dan media. Ini keberhasilan pejabat bersembunyi di belakang agama. Ciri kesantunan Sunda yang digunakan para tokoh masyarakat yang enggan melakukan perubahan "eta mah pejabat sharoleh ! naon nu bade dimasalah keun !"

Anggaran Pendidikan
Tak seorang pun yang menyangsikan, bahwa pendidikan sampai saat ini dianggap sebagai investasi SDM yang paling strategis [Strategic human resource invesment]. Namun demikian, jika kita amati secara tuntas, dunia pendidikan kita masih dirundung problem akut yang tak kunjung tuntas pembenahannya. Masalah muncul, mulai dari lemahnya kepemimpinan, minimnya dukungan dan pengelolaan kelembagaan, pelaku, sampai pada tingkat pengambilan kebijakan, yang masih memandang sebelah mata pada sektor yang satu ini.
Pendidikan kita sedang berada pada puncak krisis, meminjam istilahnya Tilaar. Praktik pendidikan, baik yang berbentuk keluarga, lembaga pendidikan masyarakat, formal atau nonformal, pada berbagai jenis dan tingkatan, umumnya tertinggal dari arus pembaharuan, meskipun ini berarti tidak membuka diri. Celakanya lagi, pada arus konsepsional, konsep pendidikan, baik yang berbentuk pragmatisme, konservatisme, progresivisme, rekonstruksionisme, atau bahkan eksistensialisme, pada dasarnya setapak lebih mundur dari gerak kemajuan.
Dewasa ini, krisis pendidikan kita ditandai dengan menurunnya kualitas. Meskipun sulit menentukan standar kualitas, tetapi indikator yang nampak, misalnya mutu pengajar yang rendah, minimnya dukungan alat-alat pengajaran, krisis kelas dalam PBM, teks, lab, dan bengkel kerja yang belum memadai, cukup menjadi barometer untuk menakar kualitas dari pendidikan kita. Wal hasil, tak terlalu mengagetkan, jika laporan UNDP 2003, mencatat indeks SDM Indonesia, melorot di bawah urutan 112, hanya lebih baik dari Vietnam.
Krisis revelansi, adalah gejala berikutnya. Ledakan pengangguran lulusan Menengah dan Tinggi, dapat dilihat sebagai ketidakberhasilan sistem, mencetak ahli dan SDM terampil dalam jumlah memadai bagi kebutuhan pembangunan. Kurikulum jalan ditempat, tak sesuai “suplay” dan “demand”. Kurikulum tak sesuai perkembangan ilmu pengtahuan, filsafat, sains dan perkembangan masyarakat itu sendiri. Bagimana mungkin pendidikan dikembangkan, membelakangi perkembangan masyarakat ? Jelas lulusan yang kerdil, tak percaya diri dan bahkan tak berwawasan global, yang menjadi taruhannya. Sungguh ironis !!
Di tengah gejala seperti ini, pendidikan juga menunjukkan adanya kecenderungan elitisme. Pendidikan cenderung menguntungkan kelompok tertentu, kelompok kecil yang mampu. Akibatnya, sulit memperoleh pemerataan dan kesempatan yang adil untuk sama-sama menikmati pendidikan yang bermutu, yang berakibat pada human development index rendah. Bahkan dalam berbagai kasus, muncul kelompok masyarakat yang tak sanggup membiayai pendidikan anak-anaknya.
Kepemimpinan dan menejemen pandidikan yang lemah, meyempurnakan masalah yang dihadapi pendidikan kita. Pendidikan sekarang ini, sebenarnya sudah menjadi industri pengembangan manusia. Seharusnya dikelola secara professional. Lemahnya dukungan kepemimpinan dan menejemen dapat menjadi masalah serius. Pengelolaan pendidikan harus dimutakhirkan. Di sini perlu terobosan; perencanaan yang matang, pengelolaan, pendanaan dan efisiensi.
Problem yang demikian kasat mata, rupanya belum menjadi perhatian kita semua. Terlebih, para pengambilan keputusan, yang tetap saja setengah hati mendukung sektor strategis ini. Meskipun amandemen UUD 45 sudah menetapkan 20 % dari total APBN, tetapi belum dapat diterapkan sepenuhnya. Kondisi serupa, terjadi di tingkat daerah, dimana perhatian pada pendidikan, juga tal terlalu menggembirakan. Anggaran pembangunan sektor pendidikan dalam APBD wilayah 3 Cirebon juga rendah. Kota Cirebon APBD 2004 dari anggaran sebesar Rp. 240.002.187.918.00, sektor pendidikan dan kebudayaan tercatat Rp. 61.582.976.800, tetapi sejumlah besar dana itu, habis untuk belanja administrasi umum sebesar Rp. 56.021.977.000. Kabupaten Kuningan pembangunan sektor pendidikan pada 2004, hanya Rp. 3.850.000.000, turun dari Rp. 8.068.300.000 pada 2003. Padahal total APBD 2004, sebesar Rp. 384.625.997.101.56. Gambaran minim juga nampak pada anggaran pendidikan Kabupaten Cirebon. Anggaran pendidikan hanya Rp. 21.803.776.498, dari total anggaran Rp. 418.118.430.687.48 [2002], ini pun harus dibagi juga untuk sektor keyakinan, kebudayaan, pemuda dan olah raga. Dengan anggaran seperti itu, apa yang dapat dilakukan untuk melakukan pembaharuan pendidikan kita ?
Semua orang tahu, pendidikan adalah modal sosial, modal politik, modal ekonomi, dan modal kebudayaan. Pendidikan adalah mata air perubahan sosial, sumber ide bagi peningkatan hidup dan makna hidup. UNDP dalam “Human Development Report” [1990], menetapkan pendidikan sebagai salah satu aspek dari proses pengembangan manusia [human development] menuju tercapainya enlarging people’s choices.

Problem Anggaran di APBD Kuningan
Problem utama yang mencuat di Kabupaten Kuningan adalah tiadanya keberpihakan distribusi anggaran untuk pembangunan publik. Ketimpangan penganggaran yang tak berpihak pada masyarakat, nampak dari distribusi anggaran dari tahun 2001 -2004. alokasi anggaran masih terkuras untuk anggaran rutin, dan minim untuk alokasi pembangunan publik. Anggaran hanya menguntungkan pihak legislatif, eksekutif, petronase, dan aparat.
Anggaran pendapatan dan belanja daerah tahun 2001 sejumlah Rp 219.640.026.000,00. Sejumlah besar ini alokasi anggaran pembangunan hanya 17,4% atau Rp 38.236.941.000,00, sementara 82,6% atau Rp 181.403.089.000,00, untuk anggaran rutin. Pada 2002, anggaran lebih timpang, dimana dari penerimaan Rp 298.586.561.065,00, sebagian besar 86,3% atau 257.599.561.065.00 terbesar untuk anggaran rutin, sedang anggaran pembangunan hanya Rp 40.986.000.000,00 atau 13,7% saja. Dari sejumlah anggaran pembangunan ini (13,7%), sektor pertanian (didalamnya perkebunan, kehutanan) hanya memperoleh 0,5% dari total APBD (Rp 1.480.000.000,00), Padahal Kuningan adalah daerah pertanian sebagai basis utama penghidupan masyarakat, sangat sulit mengangkat kesejahteraan masyarakat petani. Problem petani adalah mahalnya pupuk, obat-obatan, bibit serta usaha intensifikasi kurang berjalan baik. Bidang kesehatan pada tahun ini hanya memperoleh 0,8%, dan pendidikan 2,8% dari total APBD.
Kontrol masyarakat yang kurang, berakibat tak adanya perimbangan yang memadai antara kebutuhan masyarakat dalam penganggaran daerah, dengan kebutuhan penyelenggara negara. Pada APBD Kuningan 2003, nilai anggaran Rp 337,9 milyar, alokasi anggaran rutin sebesar Rp 297,9 milyar, sementara alokasi anggaran pembangunan Rp 76,8 milyar, pada anggaran 2004, dari hasil penerimaan sebesar Rp 383,7 milyar, terserap anggaran rutin Rp 337,7 milyar, sementara anggaran pembangunan Rp 46,2 milyar, hanya 12,5% yang berbanding 1 : 8 antara alokasi anggaran pembangunan dan biaya rutin. Sungguh anggaran yang timpang, dan tak memadai bagi pemberdayaan dan kesejahteraan masyarakat. Katidak seimbangan alokasi anggaran ini awalnya dapat dilihat dalam tabel berikut:

Tabel perbandingan anggaran rutin dan pembangunan APBD Kuningan 2001-2004

Tahun Anggaran

Total

Rutin

Pembangunan

%

2001

2 19,6 M

181,5 M

38,2 M

17,4%

2002

298,5 M

257,5 M

40,9 M

13,7 %

2003

337,9 M

297,9 M

76,8 M


?
2004

383,7 M

337,7 M

46,2 M

12,5(1:8)


Alokasi sebesar 46,2 milyar pada APBD 2004, atau 12,5% anggaran pembangunan, jelas menunjukkan pengabaian terhadap prinsip keadilan. Anggaran ini tidak cukup memadai untuk usaha menciptakan pemberdayaan masyarakat Kuningan yang berjumlah 1.076.000 jiwa. Dari total penduduk ini petani adalah mayoritas kelompok sosial yang dirugikan dari distribusi anggaran ini. Perempuan, orang tua siswa, guru/ustadz, generasi muda, peternak, pengelola hutan, ustadz, santri, adalah kelompok yang juga bernasib sama, tak pernah menikmati anggaran daerah sebesar 383,7 milyar tersebut. Kehidupan sangat sulit, pekerjaan serba terbatas, harga barang tak terjangkau, putus sekolah, guru atau ustdz rendah kesejahteraan, pendapatan petani, peternak, pengelola hutan yang tak memadai. Anggaran diatas jelas hanya memanjakan pejabat-pejabat daerah.
Jika diamati secara serius, distribusi anggaran yang tak memihak pada kemaslahatan publik atau penduduk dapat diteliti dari beragam sudur pandang.

1. Kontrol dan akses masyarakat yang lemah terhadap pemerintah daerah.
Pemerintah daerah, ibarat/seperti raja yang dikurung dalam istana dan dijaga ketat oleh para bodyguard yang siap membungkam siapa saja yang mencoba mendekatinya. Kurangnya keberanian dari masyarakat dan pemerintah daerah yang tertutup, sedikit dan kurangnya partisipasi menyebabkan nyaris tanpa kontrol. Ketakberdayaan masyarakat seperti ini, dipaparkan pula oleh sikap anggaran dewan yang birokratis, dan sikap restriksi, tak terbuka dan sok berlagak seperti pejabat. Pengalaman bertemu dengan anggota dewan seperti ini nyaris terjadi di wilayah III Cirebon, (Kuningan, Cirebon, Indramayu]. Dari 8 anggota dewan yang ditemui penulis di Cirebon mereka menjawab ketus, "sory ya, ini rahasia negara, saya tak bisa kasih salinan! bahkan yang lain menjawab dengan nada menentang, "kamu digaji berapa mau mempelajari APBD? Saya yang digaji saja malas kok mempelajarinya !. Beruntung ada anggota dewan asal Malang yang kebetulan mantan aktivis kritis, berbaik hati memberi salinan APBD Cirebon. Untuk Kuningan, kebetulan ada anggota dewan yang secara emosional dan ideology dekat, tak terlalu banyak masalah. Sementara di Indramayu, legislatif, dan eksekutifhya sangat resisten untuk menjelaskan soal APBD. Ini semacam struktur feodalisme antara legislatif dan eksekutif.
Rendahnya kontrol masyarakat Kuningan pada penyelenggaraan pemerintahan berdampak makin merosotnya alokasi anggaran kebutuhan publik. APBD 2004 menunjukkan penurunan signifikan dari tahun sebelumnya. Anggaran pembangunan bidang pendidikan yang pada tahun 2003 sebesar Rp 8.068.300.000,00 dan turun drastis pada tahun 2004 hanya Rp 3.850.000.000,00 pembangunan bidang pertanian pada tahun 2003 sebesar Rp 3.423.600.000,00 juga mengalami penurunan signifikan, hanya sebesar Rp 950.000.000,00. Begitu juga anggaran untuk bidang pemberdayaan masyarakat, olah raga dan pemuda dari Rp 1.200.000.000,00 pada 2003 menjadi hanya Rp 400.000.000,00 saja pada 2004. Harga mahal yang harus dibayar, akibat kontrol masyarakat yang lemah.

2. Partisipasi mayarakat yang rendah dalam keterlibatan penyusunan anggaran di daerah.
Masyarakat sejatinya stakeholder dari proses otonomi. Dalam semangat UU No. 22/25 2004 yang sudah direvisi menjadi UU no 32 tentang otonomi daerah dan perimbangan keuangan daerah, pelaku utama dan orang yang seharusnya memegang kontrol pemerintahan adalah rakyat. Berkait dengan perubahan orientasi seperti itu, kebijakan bergeser dari top-down menjadi bottom-up. Namun, dalam kenyataannya orientasi ini masih bersifat kamuflase, pura-pura, belum mencerminkan sikap demokratis yang sesungguhnya.
Sekedar contoh misalnya, dalam MUSBANGDES di salah satu desa di kecamatan Jalaksana, mengundang masyarakat, tokoh, ketua, RT/RW, LPM dan BPD. Dalam rapat tersebut diidentifikasi kebutuhan-kebutuhan yang mendesak dan segera harus ditangani, mulai dari rehabilitasi / membangun sekolah desa yang mau roboh, irigasi, pemberdayaan masyarakat, ekonomi masyarakat, perbaikan jalan dan pembangunan musholla/masjid dibicarakan dalam rapat ini. Namun ketika sampai di tingkat kecamatan dalam rapat Unit Daerah Kerja Pembangunan [UDKP] yang dihadiri kepala desa dan camat, masalah tersebut ditiadakan hanya tertinggal satu masalah yang dianggap prioritas. Akhirnya disepakati forum untuk membangun sekolah desa yang mau roboh. Di tingkat kabupaten, dalam Rapat Koordinasi dan Pembangunan [RAKORBANG] yang dihadiri pemerintah kabupaten, para camat dan juga kepala desa, masalah hanya tertulis pada pembicaraan nominal yang akan dikucurkan ke masing-masing desa. Masalah yang telah diinventarisasi yang dimunculkan dari hasil rapat sama sekali tidak disinggung di forum ini. Hasil proses ini disetujui bahwa desa pada anggaran 2003 memperoleh bocoran subsidi sebesar 12,5 juta.
Di desa tersebut, timbul kejanggalan yang muncul kepermukaan sebab kepala desa dengan otoritsnya mengambil keputusan sepihak. Uang yang didapat dari subsidi kabupaten, sebesar 12,5 juta tersebut tidak dipergunakan untuk membangun sekolah desa yang hampir roboh, tetapi disalahfungsikan untuk membuat/membangun keramik balai desa, yang sebenarnya sudah diplester semen licin, dan baik. Ini kalau dilihat dari rata-rata rumah masyarakat desa. Pengingkaran ini jelas terjadi dan berlangsung pada masyarakat, disebabkan akses masyarakat dan partisipasi yang kurang.
Partisipasi masyarakat yang kurang berikut inplikasinya, dapat pula dilihat dari proses penyusunan di tingkat DPRD. Komisi anggaran yang menyusun RAPBD, bersama eksekutif seharusnya melakukan hearing atau memberi peluang kepada masyarakat untuk ikut mengontrol dalam "uji kelayakan RAPBD ". Namun lagi-lagi ini tak terjadi, karena selain akses-akses partsipasi masyarakat terbatas, kondisi dewan dan eksekutif sendiri rupanya tak menghendaki campur tangan masyarakat untuk terlibat dan mengetahui detil RAPBD. Akibatnya bisa ditebak jika kemudian APBD Kuningan pada akhirnya memberikan porsi anggaran yang kecil pada sektor/bidang pendidikan, pertanian, pemberdayaan masyarakat dan kesehatan.

3. Pemahaman keagamaan yang dikotomis
Pemahaman seperti ini dalam tingkat tertentu akan mematikan roh agama. Agama akan gagal berdialog dengan realitas yang terjadi dan problem yang dihadapi masyarakat. Agama menjadi senjata yang sakti ketika berhadapan dengan perilaku masyarakat, tetapi tumpul jika berhadapan dengan kekuasaan. Agama akan mudah bicara "haram" pada togel, judi, pelacuran yang dipilih masyarakat karena kecewa tak ada pekerjaan lain, atau sumber penghidupan yang layak. Tetapi haramnya terdengar sayup-sayup — bahkan sama sekali tak terdengar —, jika itu berupa korupsi yang dilakukan oleh pejabat, ketidakadilan atau distribusi yang timpang yang dilahirkan oleh pejabat dalam APBD.
Dikotomi ini sangat terasa dan kasat mata ketika dalam forum bahsul masail "zakat ONH, dan perhiasan" yang dilaksanakan di masjid terbesar Kuningan, Masjid Syiar al Islam, yang diprakarsai oleh BAZ (Badan Amil Zakat) Kabupaten Kuningan. Dalam salah satu komisi yang membahas tentang zakat ONH (Ongkos Naik Haji) menjadi perdebatan sengit tentang keabsahan memberi sumber rujukan yang memperkenalkan pemungutan zakat ONH. Karena haji pada dasarnya tassaraful mal dijalan Allah., sehingga tak ada qiyas yang dapat digunaan untuk mengambil zakat. Meskipun pada akhirnya BAZ tetap mengusulkan shodaqoh tathawwu', yang diambil dari jama'ah haji, dan dikelola oleh BAZ Kabupaten Kuningan.
Dalam komisi yang sebenarnya membicarakan hal yang tidak strategis ini, bahkan penulis menganggap itu berbahaya, sebab ulama (NU, Muhammadiyah, MUI) yang diundang pada acara itu dapat menjadi orang yang melegitimasi Pemda untuk menarik zakat atau sodaqoh pada jamaah haji. Dan ini tentu yang dirugikan adalah masyarakat dan jamaah haji yang sudah menanggung biaya sangat mahal. Dalam kondisi ini penulis mengusulkan tentang hal penting yaitu bagaimana jika forum membahas saja tentang uang APBD yang dipakai biaya naik haji pejabat, yang sebenarnya sudah digaji besar ? Bagaimana ulama dan agama memandang masalah tersebut ? Sungguh ironis usulan yang dikemukakan penulis dijawab dengan acuh oleh sesepuh asal Cilimus [maaf tak disebut namanya demi alas an etika] dengan jawaban : ...", "Sudahlah kita tidak usah ikut masalah ini, itu biar ditanggung sendiri oleh pejabat !". Di sini dikotomi ini menggiring agama tak perduli pada masalah besar, bahkan sekedar dimanfaatkan untuk keputusan yang sebenarnya merugikan masyarakat atas legitimasi agama.

4. Faktor ketidakcerdasan dan lemahnya kinerja DPRD
Anggota dewan atau legislatif, sebenarnya representasi dari masyarakat yang diharapkan dapat mengontrol, mengawasi dan membuat kebijakan atau undang-undang yang memihak pada kemaslahatan masyarakat. Namun dalam kenyataannya, semua harapan tersebut sekedar isapan jempol. Hal seperti ini menjadi menarik diamati, bagaimana mungkin mengharapkan dewan yang contradiction interminis (memiliki masalah di dalam dirinya). Pemilu 1999 adalah kemenangan bagi kelompok abangan. Dominasi kelompok ini demikian luar biasa pengaruhnya di dewan. Ketua dewan adalah orang yang langsung dididik dan punya pengaruh di terminal Kuningan, apalagi ditambah kolega seprofesi dari Kadu Gede dan Ciawi yang sama-sama masuk dilegislatif, bukanlah hal sepele. Suara mayoritas dan didukung 17 kursi di dewan pada periode 1999-2004, adalah kemenangan PDIP dalam mengelola arah dan kemudi. Dewan kemana bahtera akan diarahkan dan dibawa.
Hasil pemilu 1999 dan terposisi dewan Kuningan 2004 sebagaimana dijelaskan di bawah ini turut menentukan hitam putih nasib masyarakat Kuningan.


Tabel Perolehan Kursi DPRD Kuningan 1999-2004
No.

Partai

Jumlah

01

PDIP

17

02

Golkar

8

03

PPP

7

04

PAN

2

05

PKB

2

06

PBB

1

07

PKS

1

08

TNI

5


Dewan inilah, partai dan perolehan kursi yang berperan dalam penentuan anggaran dan belanja daerah. Kenapa anggaran demikian timpang dan tahun 2000-2004 yang kurang memberikan pemihakan kepada kepentingan publik dan hanya memberikan porsi besar pada anggaran rutin, tidak lepas dari peran dan tanggungjawab dewan diatas. Apa yang dilakukan oleh 17 anggota dewan PDIP, 8 anggota dewan dari Golkar, 7 PPP, 2 PAN, 2 PKB, 1 PBB, dan 5 TNI, tercermin dari distribusi anggaran sebagaimana dijelaskan dalam tabel perbandingan anggaran rutin dan anggaran pembangunan APBD Kabupaten Kuningan 2001-2004 diatas.
Anggota dewan perlu kiranya dibekali dengan teknis pembuatan anggaran, mengetahui filsafat anggaran dan alokasi anggaran yang memihak kemaslahatan publik,
serta asal usul dan alokasi anggaran. Jika ini tidak dilakukan sulit berharap pada anggota dewan hasil pemilihan umum berikutnya untuk dapat memberikan pemihakan kepada anggaran yang rahmat bagi masyarakat lemah.
Tak ada perubahan signifikan dari komposisi anggota dewan hasil pemilu 2004. Untuk DPRD periode 2004-2009, perubahan yang tak terlalu mendasar. PKS naik perolehan suaranya dengan mendapat 7 kursi, naik 6 perolehan kursi dari angka sebelumnya yang hanya 1 kursi. Golkar naik pula perolehan suaranya, 10 kursi dari 8 kursi pada pemilu 1999, PKB dari 2 kursi menjadi 5 kursi.
Sementara partai lain mengalami penurunan jumlah perolehan suara PDIP yang semula memiliki 17 kursi turun menjadi 13 kursi, PPP 7 kursi menjadi 4 kursi, sementara PBB tetap 1 kursi dan juga PAN tak berubah dari kondisi semula, yaitu 2 kursi, posisi lain adalah Partai Demokrat, pendatang baru yang mendapat 2 kursi.

Tabel Hasil pemilu 2004
Dan perolehan kursi DPRD Kuningan 2004-2009

No.

Partai

Jumlah

01

PDIP

13

02

Golkar

10

03

PKB

5

04

PKS

7

05

PAN

2

06

PPP

4

07

PBB

1

08

Demokrat

2


Dari komposisi di atas tak banyak yang bisa diharapkan untuk melakukan perubahan secara mendasar pada distribusi pengangguran yang memihak pada kemaslahatan publik, jika permainan baru itu sama-sama tak memiliki pemahaman dasar tentang teknis dan teologi anggaran. Naiknya pemain baru yang sebelumnya merupakan aktivis dakwah, PKS atau PKB, misalnya, masih perlu diuji. Dan waktu pula nanti yang membuktikan apakah mereka ini dapat berbuat banyak. Jika toh pada akhirnya mereka juga terjebak pada lingkaran sistem yang membelenggu dan mereka tak berbuat apa-apa, statis, tak punya kreatifitas mewarnai dewan, ini sama saja kiamat bagi masyarakat miskin di daerah ini.

5. Patronase dan Relasi Kuasa
Patronase dengan pemerintah, adalah hal lain yang nampak ke permukaan. Ruang publik yang terbuka, suara nyaring kebebasan, kritik dan protes dari lembaga swadaya masyarakat, ormas, partai, organisasi profesi, pers, dan pengusaha atau mungkin juga pesantren, mengalami kelumpuhan akibat patron client dengan penguasa setempat.
Fenomena ini muncul akibat tak ada alternatif lain yang dijadikan pilihan aktivis berkaitan dengan pendapatan dan masalah ekonomi yang menghinggapi kehidupannya. Dalam sebuah seminar korupsi di Hotel Prima Kuningan, dosen STIKIP/UNIKU Zaenal Abidin, M. Pd, menyebutkan "jika anda ingin kaya di Kuningan jadilah aktivis....!". Aktivis di Kuningan dapat disebut sebagai anak emas Bupati. Orang-orang yang kritis akan dirangkul dan diberi konsesi material sebagai upaya pembungkaman bahkan pada tingkat tertentu Zaenal Abidin menambahkan, aktivis mendapat jatah mengisi formasi PNS daerah atau menjadi kurir untuk membawa orang yang akan masuk sebagai Pegawai Negeri Sipil.
Kondisi dan realisasi yang seperti ini, menyebabkan relasi kuasa yang membelenggu sehingga ketimpangan dan ketidakadilan sulit dihindari, bagaimana mau mengkritik kalau semuanya menikmati dan terlibat politik kepentingan dalam relasi Patronase.

6. Problem mental kekuasaan
Penguasa atau pejabat sejatinya adalah pelayan rakyat. Tetapi ini tak berlaku di sini. Yang berlaku adalah "pejabat adalah raja". Konsekuensinya dari pandangan seperti ini masyarakat harus membiayai kehidupan rajanya, akibatnya seluruh sektor kehidupan masyarakat tak ada yang beres dari sergapan pajak. Pandangan seperti ini berjalan dengan sikap aparat dari desa sampai bupati. Disetiap kesempatan selalu bicara dan hanya menyoal soal pajak. Pajak adalah logika dan khotbahnya para pemimpin. Adigiu "orang bijak, taat bayar pajak", "masyarakat bijak, taat bayar pajak", adalah simbol dan poster yang dapat ditemui di spanduk-spanduk jalan, pamplet dan poster yang ditempel di pohon-pohon, bahkan sampai nomor rumah setiap pelosok, semua disertai dengan pesan. Mayarakat melek dan meremnya tak lepas dari kesadaran pajak.
Kampanye pajak ini, disertai dengan peningkatan biaya yang harus ditanggung oleh masyarakat. Masyarakat harus menanggung kenaikan pajak bumi bangunan (PBB) hampir 200%, pajak kendaraan motor, naik 100%. Pajak penerangan, hotel, restoran, reklame, perkir, SIUP, perizinan, pajak bermotor, dengan kenaikan signifikan. Pokoknya semua gerak masyarakat tak ada yang lepas dari pajak. Makan mie ayam di pinggir jalan, makan sate, masuk warung semua kena pajak. Kuningan yang tak punya stasiun dan pemancar TV pun, menarik pajak TV. Bahkan pada 2004 mentargetkan 250 juta dari pajak TV ini. Masalah ini yang dikecam Ishadi, ketua Asosiasi TV Swasta Nasional, yang menyebut Bupati Kuningan sebagai orang tak rasional. "Bagaimana mungkin memungut pajak TV, emangnya TV lewat wilayah Kuningan?". Tanpa menyediakan antenna transmisi, pemancar dan fasilitas apapun yang berkait dengan penyiaran, tetapi memungut pajak TV.
Inilah problem mental kekuasaan di daerah ini. Semua pejabat dari RT, desa, camat, sampai bupati seragam tak ada dalam benak mereka selain pajak dan pajak di hampir setiap kesempatan bertemu dengan masyarakat. Mereka lupa apa program kerja, untuk apa pajaknya, bagimana kemiskinan dan pengangguran yang dihadapi masyarakat, semua terabaikan.

Kontrol Publik atas Anggaran Daerah
Distribusi anggaran pembangunan yang tak seimbang antara alokasi dana publik dan rutin menjadi delematis. APBD tak mencerminkan kesungguhan dalam membangun
dan memberdayakan masyarakat Kuningan. Akses dan kontrol masyarakat yang rendah disertai partisipasi yang kecil, pemahaman keagamaan yang dikotomis, serta patronase, sikap legislatif yang statis dan rendahnya mental kekuasaan, memicu lahirnya ketidakseimbangan pengangguran. Ini jelas berdampak kurang baik bagi kelompok masyarakat miskin, petani, peternak, murid, remaja, kelompok marjinal yang tidak punya kesempatan menikmati kecukupan hidup. Kondisi ini jika dibiarkan hanya akan menguntungkan klan penguasa dan patronase yang diciptakannya.
Kondisi semacam ini tak dapat dibiarkan berlarut-larut. Di tengah-tengah kondisi seperti ini membutuhkan peran serta masyarakat untuk memberi energi baru dengan melatih community Organizer untuk gerakan rakyat anti korupsi. Saatnya sekarang ini. menciptakan APBD Kuningan dan Cirebon yang Memihak pada Kemaslahatan Ummat.
Agamawan dapat berperan dan terlibat advokasi tentang APBD, membedah kondisi APBD Kuningan dan Cirebon, serta menempatkan secara proporsional bagaimana syariat Islam memandang tentang anggaran negara, memberi cara pandang baru bagi peserta, berkaitan dengan hak-hak, asal-usul dan hakekat anggaran, yang sebenarnya sekedar dititipkan pada penguasa sebagai 'amil yang mengatur distribusinya bagi sebesar-besarnya kemakmuran dan kemaslahatan rakyat. Para ulama LSM, aktivis, dan pesantren selama ini tak peduli pada APBD berkait dengan tidak adanya informasi mengenai APBD, akses kurang dan tak paham apa itu APBD. Perlu NGO sebagai narasumber mengadvokasi masyarakat untuk melihat kenyataan bagimana APBD selama ini tak pernah secara serius memperhatikan kepentingan masyarakat bawah.
Ulama, agamawan dan masyarakat seharusnya merasa berdosa, sebab mereka melupakan tanggung jawab ini. Is;lam memiliki pandangan anggaran dan anatomi zakat dan segala implikasinya bagi hak-hak rakyat [pembayar pajak] dan kewajiban penguasa, menambah kesadaran baru, bahwa mereka selama ini tak peduli untuk ikut membangun kesadaran publik, melakukan fungsi kontrol, amar ma 'ruf untuk anggaran bagi kemaslahatan masyarakat dari anggaran pembangunan di APBD. Ini jika dibiarkan sama dengan membiarkan ketidakadilan. Ini adalah dosa, sebab tugas ulama adalah amar ma'ruf. Dakwah yang baik adalah memberi nasehat pada penguasa. Jika ulama diam dengan ketimpangan penguasa adalah dosa besar, dan termasuk golongan iblis di Neraka. Sabda Nabi, sepuluh golongan orang yang menjadi teman iblis dari umat Nabi, salah satunya adalah ulama atau orang alim yang membiarkan atau membenarkan penguasa di dalam ketimpangan; Al 'âalimu alladzy shaddaqa al 'amîra fiyjûrihi.
Gaung dari genderang perlawanan terhadap anggaran yang tidak berfihak kepentingan public harus terus digerakkan. Masyarakat harus terlibat dalam proses pembuatan pengganggaran sehingga anggaran berfihak untuk kepentingan public. Kesehatan, Pendidikan, perumahan dan kesejahteraan harus menjadi foku utama. Akses perluasan masyarakat dalam keterlibatan masyarakat dalam proses penganggaran bukan saja berhenti pada Musrenbang di Desa, tetapi hars tetap berlanjut pada Musrenbamng Kecamatan dan Kabupaten. Kontrol, kelayakan, dan akses harus secara seksama menjadi bagian tak terpisahkan dari keterbukaan masyarakat sebagai stake holder. Kita masih perlu asistensi dari lembaga yang kredibel, semisal dari Internasional Transparancy, Indonesian Corruption Watch [ICW], Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia [LIPI], Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat [P3M], atau juga dari Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran [FITRA] dan Bandung Institute for Government Studies [BIGS]. Untuk merealisir kerja seperti ini, kehadiran NGO tersebut sangat membantu dalam memberi bantuan SDM [asistensi SDM] untuk meningkatkan dan menambah dukungan psikologis aktivis di daerah.

Catatan Penutup :Rekomendasi
Munculnya ketidakadilan dalam penganggaran, antara anggaran rutin dan pembangunan publik sebagaimana ditemui di APBD Kuningan, jelas membawa pengaruh pada seluruh kebijakan dan sektor kehidupan masyarakat [politik, sosial, budaya, ekonomi]. Ini tentu berakibat buruk pada masyarakat bawah.
Untuk memperjuangkan anggaran yang berpihak pada kemaslahatan publik memerlukan senergi dari berbagai organ dan komponen masyarakat, LSM, Media, Akademis, partai, ormas, pesantren, eksekutif dan legislatif untuk secara sinergi melakukan untuk menciptakan anggaran yang memihak pada kemaslahatan masyarakat diantaranya :
1. Melakukan kerja penguatan dan fungsi kontrol serta akses masyarakat pada penyusunan anggaran dan belanja daerah.
2. Membuka partisipasi masyarakat dalam pembuatan dan penyusunan kebijakan publik.
3. Mengusahakan tersedianya kelompok penekan [pressure group] baik dari kalangan pesantren, LSM, ormas, mahasiswa, akademis sebagai kekuatan penyeimbang, sekaligus menjaga ruang kebebasan publik [Free Public Sphere].
4. Melakukan kajian dan pendidikan secara berkesinambungan berkait dengan anggaran, kebijakan, perda dan perundang-undangan.
5. Secara bertahap dan berkesinambungan diadakan training tentang advokasi, analisa sosial, atau teologi anggaran/fiqh anti korupsi.
6. Menyediakan asisteni SDM dan Finance, untuk merancang dan mobilitas, serta memperkuat opini dan media.
7. Melibatkan peserta pelatihan yang heterogen, berbagai elemen masyarakat. Lebih baik jika lintas disiplin, lintas agama dan tidak partisan.
8. Mengusahakan transparansi dan akuntabilitas borokrasi dalam mengelola keuangan daerah. Di sini penting memiliki budget monitoring team yang dibentuk masyarakat, dari orang-orang yang dianggap kredibel.

DILEMA PSIKOLOGIS MENENTUKAN PILIHAN AGAMA:

Oleh: Moh. Sulhan

A. Pendahuluan
Ketidaknyamanan psikologis dalam menentukan pilihan agama, merupakan problem interreligious di wilayah III Cirebon. Padahal, semua agama diyakini pemeluknya dapat menjadi piranti dalam memperoleh rasa damai dan harapan memperoleh keselamatan. Misi agama yang dibawa para Nabi di muka bumi ini, adalah untuk menciptakan kehidupan manusia menjadi lebih berarti. Fazlur Rahman menyebut tujuan agama adalah untuk menciptakan struktur masyarakat yang adil, damai dan sejahtera didasarkan pada etik.[126]
Bahkan dalam banyak sumber-sumber literature keagamaan yang menjadi rujukan manusia dewasa ini, agama memuat fungsi spiritual, fungsi psikologis dan sosial sekaligus.[127] Agama adalah tempat paling nyaman untuk memperoleh kedamaian dan kenyamanan hidup. Doktrin agama seperti ini menjadi domain utama di kebanyakan kognisi umat beragama.
Namun, konsepsi yang terbangun di atas, tak sejalan dengan realitas sosial yang ada. Agama malah berubah status derajat, berbalik deametal, membelakangi apa yang semula diidealkan oleh agama. Agama sebaliknya malah menjadi picu konflik di berbagai daerah. Agama tampil dalam wajah yang menakutkan, menjadi sumber legitimasi melakukan kekerasan. Kekerasan dan konflik yang dimotivasi agama, sebagaimana nampak semisal di Poso, Papua, Kalimantan, Sulawesi, Ambon, Maluku, Tasik, Madura dan sebagainya, dalam kadar tertentu juga menjadi ancaman di wilayah III Cirebon.
Agama yang bagi pemeluknya merupakan problem of ultimate concern,[128] dalam persinggungannya dengan dinamika sosio-kultural, sering terabaikan oleh kepentingan manusia yang makin meningkat [rising demands]. Akibatnya peran vital agama sering kali tereliminasi dalam kehidupan manusia. Agama sekedar menjadi alat yang dimanipulasi untuk memuaskan kepentingan manusia. Agama yang semula menjadi basis ruhaniyat,[129] yang memuat tata keimanan, peribadatan dan norma-norma yang menjadi pijakan membangun kesatuan jiwa dan badan mengabdi pada Tuhan,[130] kehilangan spirit transendentalnya.
Intervensi berbagai kepentingan [ekonomi, politik, sosial] pada agama telah memunculkan berbagai konflik dan radikalisme agama. Meski persoalan radikalisme agama mencakup berbagai persoalan yang komplek. Persoalan berkait dengan berbagai dimensi kehidupan, seperti keyakinan, intepretasi ajaran, hubungan personal dan kemasyarakatan.[131] Bahkan berkait dengan tingkat pendidikan, lingkungan sosial, tradisi budaya, keimanan dan pemahaman terhadap setiap perubahan. Namun, munculnya kekerasan yang dimotivasi klaim-klaim keagamaan dalam tingkat tertentu dapat memporak-porandakan kohesivitas dan keterpaduan masyarakat. Jika ini terjadi, dan tak disikapi dengan baik akan menggiring pada munculnya gangguan serius pada upaya penguatan basis komunitas, penguatan masyarakat dan pembangunan dalam arti yang sesungguhnya. Konflik agama akan melumpuhkan setiap prakarsa, kreatifitas dan cita kemajuan dan kesejahteraan yang menjadi cita-cita bersama umat beragama.
Di tengah maraknya kebangkitan global kekerasan agama, meminjam bahasa Mark Juergenmeyer,[132] inisiasi Pusat Pengkajian dan Penerbitan Italian [LP3I] STAIN Cirebon mengadakan pemetaan potensi interreligiuous [hubungan antar agama], merupakan terobosan strategis. Hal ini setidaknya dapat dilihat dari dua alasan: Pertama, hubungan antar agama di wilayah III Cirebon, selama ini sifatnya masih berjalan setengah hati, meski ada beberapa forum yang secara reguler mengadakan pertemuan, tetapi belum dapat menjembatani berbagai persoalan yang muncul yang melibatkan masyarakat beda agama. Kedua, di wilayah III Cirebon masih banyak ditemui beragam penganut agama dan keyakinan agama, yang sampai hari ini masih merasakan tekanan psikologis yang luar biasa akibat bias pandangan masyarakat berkait perbedaan keyakinan agama dan perbedaan intepretasi agama. Akibat seperti ini muncul intimidasi, keberat-beratan, dan berujung pada lahirnya ketakutan-ketakutan dalam menjalankan aktivitas keagamaan. Pilihan beragama menjadi problem psikologis, bahkan dapat menjadi ancaman serius yang dapat mengancam keselamatan jiwa penganutnya.

B. Beberapa Pertanyaan Pokok dan Metode Evaluasi
Masalahnya adalah bagaimana beragama dapat memberikan dampak sosial, khususnya dalam wilayah III Cirebon yang multi agama. Untuk menjawab masalah tersebut membutuhkan beberapa pertanyaan misalnya, bagaimana pandangan keagamaan dari setiap tokoh masyarakat dari berbagai latar belakang, bagaimana memotret masalah-masalah yang berkait dengan hubungan antar agama, rintisan dialog dan harapan-harapan yang berkembang terhadap inisiasi dan pemantapan tekad membangun hubungan antar agama [interreligious], dan kebutuhan mengembangkan harapan ini dalam membentuk institusi.
Ada beberapa indikator yang dapat dijadikan pijakan dalam evaluasi pemetaan potensi keberagaman bagi interreligious, khususnya pada penekanan bagaimana agama tersebut memiliki dampak sosial. Pertama, pada tingkat kognitif seberapa jauh tingkat pemahaman masyarakat telah mampu melakukan transformasi ideologis tentang pemahaman agama yang diciptakan Tuhan dalam keadaan tidak tunggal. Kedua, seberapa besar pemahaman keagamaan itu memiliki dampak dalam bentuk tidak melakukan kekerasan, intimidasi, atau dendam kepada penganut agama yang berbeda.
Dengan menetapkan lokasi secara purposive [sengaja], yaitu Indramayu, Majalengka, Kuningan, Kota dan Kabupaten Cirebon yang telah ditetapkan, kajian evaluatif interreligious ini telah mewawancarai 66 responden dari berbagai latar belakang. Seperti kyai, tokoh lintas agama [Islam, Kristen, Protestan, Budha dan Hindu], Pejabat Daerah [Departemen Agama dan Kesra] dan anggota dewan dari lima kota, aktivis dari NGO [Non Government Organization], tokoh masyarakat, akademis, budayawan dan orang yang dianggap memiliki pengetahuan memadai dari masalah yang berhubungan dengan subyek atau obyek penelitian.
Ada dua metode pengumpulan data yang digunakan: Pertama dengan wawancara mendalam [dept interview] tak terstruktur [unstructured] terhadap informan terpilih dan focus discussion group [FGD] baik dengan para pendamping korban diskriminasi atau kekerasan atau langsung dengan korban [testimony] sebagaimana dilakukan dengan korban Dawuan, Majalengka, Cigugur, Manis Lor, dan Caracas. Obyek penting selain pelaku atau informan dalam penelitian ini, juga sangat dibantu oleh obyek material berupa naskah-naskah, dokumen dari Departemen Agama, Badan Pusat Statistik [BPS], dokumentasi dan arsip baik dalam bentuk compact disk [CD] atau publikasi media. Data penelitian dan temuan lapangan yang berhasil direkam, kemudian dianalisa melalui interpretasi surface structure dan dept structure untuk memberikan pemaknaan terhadap masalah yang diamati.
Beberapa materi sudah dikategori, tetapi jika disederhanakan paling tidak ada pertanyaan besar dalam evaluasi penelitian pemetaan potensi interreligious. Pertama, bagaimanakah hubungan antar agama yang terjadi di wilayah III Cirebon, adakah temuan-temuan yang menunjukkan ada hal-hal yang dapat mempengaruhi hubungan antar umat beragama. Kedua, bagaimanakah persepsi yang muncul di masyarakat, berkait dengan fakta yang ditemukan di wilayah di mana masalah tersebut berada. Ketiga, bagaimanakah harapan-harapan masyarakat berkait dengan masalah yang dapat mengganggu hubungan antar agama dari masing-masing daerah.

C. Temuan Lapangan
Dari hasil penelitian di lapangan kurang lebih setengah bulan di wilayah lima kota ditemukan beberapa masalah yang berupa fakta-fakta konflik agama, masalah hubungan antar agama dan persepsi masyarakat akibat kurangnya informasi [lack of information] dan miskomunikasi yang dapat menjadi sekam [potensi konflik] yang besar, jika tak disikapi dengan bijaksana dan arif. Masalah tersebut dapat disebutkan sebagai berikut; keberatan akan pendirian gereja di Kandanghaur, kekhawatiran Dayak Indramayu Bumi Segandu, penyusutan makam China Kristen di Blok Bong Bundaran Kijang, bias praktek dokter Kristen Haurgelis [Indramayu], pendirian sekolah teologi al-Kitab STAPIN, stigmatisasi Syiah di Dawuan, Haur Koneng [Majalengka], diskriminasi penghayat, kekerasan Ahmadiyah, pembubaran el-Sakani Caracas, pendirian gereja jalan Sukahaji dan jalan Cigugur [Kuningan], makam Kristen Cipto-Kalijaga [kota Cirebon], Kristenisasi di LP Gintung Lor, bias praktek dokter Kristen yang pengaruhi iman pasien di RS Sumber Waras Asih Ciwaringin [kabupaten Cirebon].
Dari temuan-temuan di atas, dapat dijelaskan secara kritis mengapa masalah tersebut menjadi ganjalan yang dapat mempengaruhi hubungan antar agama di wilayah III Cirebon. Secara umum masalah tersebut dapat dianalisa sebagai berikut:
C.1. Masalah Perbedaan Interpretasi Ajaran Agama
Kekerasan agama terjadi di Kuningan,[133] berkait dengan keberadaan Jamaah Ahmadiyah Manis Lor. Kekerasan yang diwujudkan dalam bentuk perusakan 38 rumah anggota jama’ah dan pembakaran masjid dan dua mushala dipicu oleh perbedaan interpretasi tentang konsep Nabi. Ahmadiyah mengakui Mirza Gulam Ahmad sebagai Isa al-Masih yang diturunkan ke dunia kedua kalinya sebagaimana banyak disebut dalam al-Qur’an dan Sunnah. Pengakuan sebagai nabi yang diutus Tuhan ini dianggap menyimpang dari Islam. Perbedaan persepsi ini berkembang meluas, sementara komunikasi terhambat. H Didi Rasidi, dari Departemen Agama Kuningan menganggap Ahmadiyah sudah keluar dari Islam, karena mengakui nabi selain Nabi Muhammad. Menurutnya, "dalam Islam nabi terakhir itu ya nabi Muhammad, tak ada nabi selain dia, Ahmadiyah menganggap Mirza Gulam Ahmad sebagai nabi". Sementara menurut H Dudung [Ahmadi], "Ahmadiyah memandang Nabi dalam pengertian ini sebagai nabi umum [an-nubuwah al'âmmah, ghair tasyrir], yang tidak membawa syariat baru [an-nubuwah at-tasyri'iyyah]. Syariat yang diajarkan tetap syariat Nabi Muhammad". Tetapi juga mengakui tentang kedatangan nabi yang dijanjikan, dan itu sudah datang, yaitu Mirza Gulam Ahmad.[134]
Miskomunikasi dan ketegangan terus berlanjut, puncaknya terbitnya fatwa MUI Kuningan no 86/MUI-KFH/X/2004 tentang Penyimpangan Ajaran Ahmadiyah, dan Surat Keputusan Bersama [SKB] yang ditanda tangani Muspida Kuningan, Pimpinan DPRD, MUI tanggal 3 November 2003 tentang pelarangan jama’ah Ahmadiyah di kabupaten Kuningan. Kebebasan jama’ah Ahmadiyah otomatis jadi terbelenggu, tak dapat melaksanakan ibadah akibat Fatwa dan SKB ini. Tuntutan pembubaran semakin memuncak, dan buntutnya sampai pada perusakan 38 rumah dan pembakaran masjid dan mushala yang dianggap sebagai bentuk hukuman atas tetap digunakannya untuk praktik ibadah. Ini dipersepsi menyalahi keputusan SKB. Pengakuan Nana dari Gammas Kuningan, pada Radar Cirebon,[135] “Ahmadiyah telah menodai ajaran pokok Islam, ia sudah menyimpang jauh dari Islam, kami meminta Pemkab Kuningan memantau, memonitor, menganalisa", sebab menurut Nana, "Ahmadiyah telah melanggar Surat Keputusan Bersama [SKB] dengan tetap melaksanakan aktivitas mereka".
Ketua DPD jama’ah Ahmadiyah Kuningan Kulman Tisna Prawira menyayangkan terbitnya SKB tersebut yang seolah melegitimasi Ahmadiyah sesat. Menurutnya, "tak benar, kami membawa ajaran Ahmadiyah karena yang dibawa dan diajarkan Ahmadiyah adalah ajaran Islam yang bersumber pada al-Qur’an, Sunnah dan Hadits". Dalam kegiatan sehari-hari lanjutnya, "Ahmadiyah tak pernah berbuat meresahkan, kami patuh pada hukum, tak pernah membuat noda kepada pemerintah, misalnya meresahkan, mengganggu ketertiban, keamanan dan menghambat pembangunan". [136]
Disharmoni dan keadaan ini terus berlanjut dengan dilarangnya memperoleh Kartu Tanda Penduduk, dilarang pernikahan, sehingga harus mencari tempat lain di luar Kuningan. Menurut H. Dudung, "sampai hari ini sejak keluar larangan menikahkan Ahmadiyah dari tahun 2002, sudah 150 orang nikah di luar Kuningan". Miskomunikasi dan dishamioni berkait dengan perbedaan interpretasi keagagamaan ini telah melahirkan kekerasan agama. Meski sebenarnya juga ada faktor lain yang ikut memperparah keadaan ini, misalnya bias kepentingan ekonomi dan politik yang ikut memicu, akan dijelaskan dibagian lain tulisan ini.[137]

C.2. Problem Kesenjangan dan Kecemburuan
Masalah yang berkait dengan keberatan-keberatan dan gunjingan berkait dengan isu kristenisasi atau usaha mempengaruhi iman orang lain, setidaknya ditemui pada tiga tempat; [1] keberatan berkait dengan praktek pengobatan dokter Kristen di rumah sakit Sumber Waras Ciwaringin,[138] [2] kristenisasi di Lembaga Pemasyarakatan [LP] Gintung Lor, [3] masalah dokter Haur Gelis yang mempengaruhi iman pasien.
Persepsi yang berkembang di masyarakat, praktek pengobatan dengan mempengaruhi pasien, dianggap sesuatu yang memiliki tendensi negatif. Begitu juga upaya kristenisasi, dianggap sebagai tindakan yang tak bijak, meski ini sebenarnya dimotivasi oleh ajaran inti setiap agama. Dalam tradisi ajaran Kristenpun ada jelas disebut "tak memperkenankan ada domba tersesat di dunia".[139] Namun demikian, ini dianggap lain oleh komunitas Islam. Menurut Husna itu dianggap pemaksaan, "sebagai umat Islam itu pemaksaan, agama apapun melarang itu, dan itu melawan nurani".[140] Ketiga kasus diatas dianggap sebagai sesuatu yang sangat politis. Menanggapi hal itu, H Qasim,[141] salah satu Khatib di LP Gintung Lor mengingatkan, "jangan main politik dibelakang, misalkan dengan kedok kesehatan", sejalan dengan itu H Syakuri [Depag Indramayu][142] menambahkan untuk sebisa mungkin menghindari “memancing di kolam milik orang lain".
Namun, di luar komentar dan persepsi yang terbangun di atas, sebagian juga ada yang mengakui itu hanya sebatas kecemburuan akibat kesenjangan. Bukti yang dapat dibaca, atas argumen itu, misalnya berkait dengan kecenderungan melayani pengobatan yang diikuti golongan menengah keatas, serta kemajuan pesat pembangunan fisiknya. Aspek lain kepedulian yang lebih Kristen atas Islam, serta pembagian materi di LP Gintung Lor dianggap sebagai Kristenisasi. Ini lebih ke persoalan komunikasi dan ketakutan semata.
C.3. Pandangan Agama Lain Sebagai Ancaman
Polemik tentang pandangan yang menganggap agama lain sebagai ancaman, misalnya berkait dengan pendirian tempat ibadah. Polemik ini harus secepatnya dicairkan, sebab dapat mempengaruhi hubungan antar agama. Pendirian Gereja di Kandang Haur Indramayu, pendirian Gereja di jalan Cigugur Kuningan, Gereja jalan Sukamulya Kuningan dan pendirian Sekolah Tinggi al-Kitab STAPIN Majalengka, sampai hari ini masih mengandung masalah dalam hubungan antar agama.
Keberadaan lembaga keagamaan dan pendidikan keagamaan di atas sebagian dianggap menjadi ancaman komunitas Islam. Persepsi yang berkembang nampaknya mengarah pada kecenderungan ini. Moh. Syatori [Komisi B DPRD Indramayu] menyebutkan, "pembangunan Gereja di Kandang Haur, itu merupakan trik-trik tak sehat". la menambahkan "membangun tanpa pamit di lingkungan ibadah muslim terkadang sangat menyentuh harga diri. Kita tak pernah mengganggu orang lain, tetapi jangan membuat patok dan portal di jalan orang lain. Itu kan kelihatan mengganggu".[143] Pandangan agak mirip juga disampaikan oleh Rijaluddin [Komisi C DPRD Kuningan], menurutnya "Pembangunan Gereja Jalan Cigugur dan Sukamulya merupakan bentuk penjajahan dari agama-agama non Islam terhadap norma-norma, di mana membangun tempat ibadah di lingkungan muslim". Tambahnya, "jika norma-norma yang dilanggar, kaum muslim harus ada sikap".[144] Persepsi yang terbangun seperti ini menjadikan hubungan agama menjadi dingin, pasif dan penuh dengan kepura-puraan. Hal ini terungkap dari pandangan H. Abdul Karim [Depag Kuningan], menurutnya, "dalam hubungan antar umat beragama sudah ada, tetapi dalam kebersamaan misalnya, keakraban dibuat-buat, tak tulus, tetap seperti ada keganjalan".[145] Hal yang sama juga dirasakan STAPIN Majalengka. Keberadaan lembaga ini sampai hari ini tetap dipersoalkan oleh komunitas Islam, khususnya Islam garis keras yang memandang sebagai ancaman. Hadi Santoso [Pembantu Rektor] menyatakan "ya!, Kami merasakan masalah itu, kami tetap berusaha berbuat baik. Barangkali karena mereka yang menolak tidak tahu saja".[146]
Keberatan-keberatan mengenai tempat ibadah seperti ini menjadi dilematis, karena bukan saja menyangkut lisensi atau izin, tetapi prasangka dan ketakutan yang menganggap agama lain sebagai ancaman.

C.4. Bias Kepentingan Politik
Keterlibatan kepentingan politik dalam ranah agama, merupakan masalah besar yang menyeret agama dalam kondisi dilematis. Pertempuran antara dua sistem kepentingan yang melibatkan dua kelompok agama atau aliran, setidaknya telah menyebabkan penganut agama diklaim sebagai sesat. Kasus Penghayat Agama Jawa Sunda Cigugur [Madrais], Haur Koneng dan juga Ahmadiyah, tidak lepas dari keterlibatan dan tarik menarik politik.
Masalah Haur Koneng yang tetap menyisakan trauma psikologis bagi anak-anak dan keluarga Ustadz Abdul Manan, merupakan masalah serius politisasi agama.
Menurut Faizal,[147] "masalah Haur Koneng adalah masalah politik yang diseret kemasalah agama". Sementara Dadang[148] menyebutnya sebagai "pembangkangan ustadz pada kuwu". Masalah ini bermula karena masalah politik, disharmoni antara Kepala Desa Gunung Seureuh Rohamid dan Ustadz Abdul Manan, bermula dari boikot Abdul Manan pada Pajak Bumi Bangunan [PBB]. Karena dinilai desa ini paling jelek di Majalengka. Stigmatisasi sesat kemudian menjadi bentuk pengdiskreditan Abdul Manan. Puncak dari tuduhan sesat oleh Rohamid dan K. Zarkasi [MUI] ini masalah di-blow-up menjadi masalah politisasi agama. Ujungnya adalah korban puluhan jiwa pada Juli 1993. Masalah ini ramai kembali pada 2005, khususnya di Bandung, diberbagai pentas budaya dan seminar, menuntut rehabilitasi dan tuntutan keluarga korban untuk menghapus SK sesat dari Kejari Majalengka.
Stigma sesat pada penghayat Cigugur Kuningan [Madrais], juga tak lepas dari masalah politik. Menurut R.Gumirat Barma Alam,"itu sebagai caracter assasinasion, pembunuhan karakter".[149] Menurutnya, mata-mata Belanda [Steven] membuat persepsi negatif tentang ajaran Pangeran Sadewa Madrais Ali Basa putra dari Ali Basa [Kesultanan Gebang] yang meminum air keringat dan cara sembahyang yang mengelilingi tungku perapian. Persepsi itu kemudian dibesar-besarkan di kesultanan Cirebon oleh gubernur Van Leven. Stigmatasi sesat semakin besar ketika surat Ratu Helmina sampai ke demang-demang. Sampai hari ini penganut penghayat Cigugur dianggap tak beragama. Ini menekuk hak-hak sipil seperti KTP, Akta Kelahiran atau Akat Nikah.
Masalah politik juga sarat dalam kasus Ahmadiyah. Ahmadiyah yang dominan di Manis Lor [3000 jiwa dari 4000 jiwa] dari tahun 1954 selalu mendominasi kekuasan desa. Kecemburuan muncul setelah beberapa kelompok lain kalah bersaing [kekuasaan], juga politisasi masalah akibat perebutan siswa-siswi Amal Bakti dan MTs Manis Lor, politisasi agama kemudian muncul untuk mencari dukungan secara luas. Hal ini dapat difahami, mencari dukungan atas alasan politik sulit, tetapi ini mudah jika motifhya agama, apalagi bagi masyarakat yang masih rentan diagitasi sara dan agama. Isu sesat dan meresahkan masyarakat sebagai bungkus membungkam penganut agama yang berbeda dari keyakinan mayoritas yang dominan.

C.5. Perebutan Pengaruh dan Aset Ekonomi
Kelompok Islam yang juga mendapat fatwa sesat MUI Kuningan adalah el-Sakani Caracas, yang dipimpin Uju Djubaedi, S.Ag. Kelompok yang mengusung kajian pada ajaran Islam murni [lembaga studi kejernihan Islam] ini ujungnya juga dipaksa bubar. Setelah ditilik lebih jauh kasus ini merupakan tindak lanjut dari krisis akibat perebutan pengaruh dan aset ekonomi dari masyarakat yang terpecah. Masyarakat lokal dan masyarakat pengikut pemurnian. Sifat ekslusif dan pengikut yang bertambah, melahirkan gap yang akhirnya berujung pada tuntunan pembubaran dan klaim sesat.

C.6. Problem yang Berhubungan dengan Simbul Agama
Simbul-simbul agama dan juga praktek ibadah secara verbal yang berbeda dengan kebiasaan umum dapat menimbulkan persepsi negatif, jika tak didukung informasi yang memadai. Hal ini setidaknya terjadi pada agama Dayak Indramayu Bumi Segandu Losarang dan Penghayat Cigugur. Menurut M Djuendi, "melahirkan keberatan masyarakat, dianggap meligitimasi kemusyrikan".[150] Dalam kasus Dayak Indramayu, Pemda Indramayu memberikan bantuan sebesar 25 juta untuk membangun ”Tugu Setan” sebagai sarana pelengkap ibadah komunitas Dayak Indramayu. Namun, ini mendapat tantangan luar biasa, karena dianggap mendukung kemusyrikan.
Sementara simbul-simbul dari Penghayat Cigugur menurut Pangeran Gumirat, "sebagai alat peraga".[151] Menurutnya penjelasan mengenai kenapa simbul tungku? Secara logika ini gambaran dari nafsu amarah yang dapat menjadikan badan panas. Dahsyatnya panas jika bergolak di Kawah Candradimuka. Mahkota sebagai gambaran roh Insaniyah, dan 4 ekor naga sebagai simbul 4 nafsu [sawiyah, amarah, mutmainah, lawamah]. Roh Insaniyah harus menjadi imamnya dalam tubuh, bukan makmum. Seringkali kalah dalam perang hawa nafsu, akhirnya imam dipimpin amarah. Penjelasan ini tak sempat ditangkap komunitas lain, sehingga muncul persepsi negatif, sebagi sesat atau musrik.

C.7. Pluralisme dianggap Menodai Aqidah
Sebagian masyarakat masih menganggap interreligious, dialog antar agama, pluralisme dan mengajarkan perbedaan sebagai ancaman aqidah. Hal seperti ini, tuduhan sesat, stigmatisasi syiah dan sebagainya, dituduhkan kepada ustadz Syaihu Dawuan Majalengka. Masalah ini berawal "Saya mengajarkan perbedaan",[152] jawabnya. Berdasar testimoninya berawal dia mengajarkan perbedaan dalam pengajian yang dihadiri pemuda-pemudi dari beragam aliran; NU, Muhammadiyah, NII, Harakah, Syi'ah, Wahabi, Habaib. Menurutnya ia mengajarkan perbedaan, agar masyarakat dewasa, menjembatani semua golongan. Beberapa orang tak setuju ada pengajian yang mengajarkan perbedaan. Akhirnya komplain diluar untuk menghentikan pengajian. Tak kurang 20 kyai bertanda tangan untuk meminta fatwa pemberhentian Syaihu, "Syaihu sudah keluar Islam". Fatwa MUI pun keluar dan Syaihu diboikot disetiap jadwal ceramah dan khutbahnya. Sampai hari ini tak ada klarifikasi. Persepsi seperti ini misalnya disampaikan pula oleh Karmaludin Kasi Mapenda Depag Majalengka. Menurutnya, "cara pandang masing-masing agama sudah jelas, hubungan antar agama akan jadi masalah tabu".[153] Hubungan antar agama dianggapnya membawa dampak bagi masyarakat kurang baik, "Dikdas 9 tahun saja bermasalah, apalagi hubungan antar agama akan jadi masalah, lihat itu kasus Ushuluddin Bandung". Pluralisme tak difahami memadai sehingga ketakutan pencampur-adukan agama yang muncul kepermukaan.

C.8. Makam sebagai Problem Tata Kota
Masalah makam sebenarnya tanggung jawab negara. Jika negara tak dapat menyediakan sarana ini, problem yang muncul adalah benturan. Apalagi jika berkait dengan makam beda agama. Kasus ini setidaknya terlihat dalam masalah makam Cina-Kristen di Samsung Blok Bong Bundaran Kijang Indramayu dan Makam Kristen [Cipto-Kalijaga] yang menjadi ganjalan interreligious.
Persepsi tentang makam diungkapkan oleh Suseno Kurniawan, "Kita memiliki tanggung jawab moral terhadap leluhur".[154] Makam baginya merupakan masalah nilai dan penghargaan pada leluhur. Penyusutan dan pembongkaran makam yang tadinya seluas 20 ha tinggal 6 ha, oleh Pemda tentu merupakan pengabaian nilai sejarah dan tak menghargai dan diperhatikan. Kalah atas alasan pembangunan, ini sangat dilematis. Kasus serupa di Kota Cirebon misalnya, menurut Hediyana Yusuf "ini karena salah kebijakan, tak adanya visi, misi dan strategi, lihat tanah kosong bongkar".[155] Rencana pembangunan makam ini nyaris mengalami benturan besar, karena aksi K. Shalihin yang akan mengerahkan pemudanya, karena makam non muslim[156] Persepsi yang muncul makam adalah masalah konsensus budaya, konsensus masyarakat. Sebagai konsensus budaya menurut Adang Djumhur perlu "memperhatikan aspek psikologis". Prinsip utamanya adalah orang mati harus secepatnya dikubur. Bagaimana caranya, terserah ke masing-masing, meski negara harus menyediakan tempatnya. Perdebatan tentang makam ini berangkat dari bermasalahnya daerah dalam mengelola dan desain tata kota.
Dari pemaparan dan analisa seperti itu, gangguan interreligious berpangkal dari lack of information [kekurangan informasi], sehingga memicu timbulnya kecurigaan, kekerasan, penyesatan, gap, kecemburuan, bahkan dapat dengan mudah dipolitisir menjadi isu sara dan agama. Dalam kondisi seperti ini masalah ini dapat menjadi masalah besar dalam hubungan antar agama. Ditengarai problem seperti itu akhirnya memunculkan kekerasan agama, penyesatan, konflik berkait perebutan pengikut, konflik pendirian tempat ibadah, atau perebutan simbul-simbul keagamaan, kecemburuan, ketakutan, bahkan masalah sosial yang paling mendasar, yaitu mempermasalahkan makam dari orang yang berbeda agama. Masalah ini jika tak disikapi akan menjadi sekam yang dapat meledak setiap saat.

D. Harapan-Harapan
Miskomunikasi dan kurangnya informasi yang memadai antar umat beragama dapat melahirkan konflik, kekerasan, kecurigaan, miskonsepsi, gap, dan problem pikologis yang mengganggu kenyamanan hidup penganut agama. Ada beberapa harapan yang berkait dengan interreligious studi, sebagaimana diungkapkan oleh berbagai tokoh lintas agama dan pejabat atau tokoh masyarakat dan akademisi Wilayah III Cirebon.
Interreligious studi jika dibentuk dalam bentuk institusi, diharapkan tidak sekedar formalisme, tetapi harus fungsional, demikian harapan Wahidin, MM.[157] Interreligious harus memihak pada kualitas dan memahami persoalan di lapangan dengan baik. Lebih penting dari itu "merumuskan kebijakan dan strategi kerukunan umat", tambahnya. Hal sama juga diungkapkan H Syakuri,[158] bahwa selain untuk memantapkan fungsi akademis, memantapkan pola pikir dan menghindari hal-hal tak diinginkan, menurutnya "juga proaktif membina daerah-daerah wilayah III Cirebon membuka kehidupan agama yang toleran dan tasamuh". Tokoh lintas agama, Suseno Kurniawan menambahkan "visi dan misi harus masa depan, berangkat dari kondisi keprihatinan negara dan menjembatani makin terciptanya kemakmuran masyarakat".
Dosen dan pejabat STAPIN Hadi Santoso[159] menyambut baik rencana interreligious. "Inisiasi yang bagus ini diimpartasi ke wilayah lain [disebarluaskan hasilnya], dan memantapkan fungsi akademis agama untuk bagaimana berkontribusi bagi masyarakat, bangsa dan negara". Sambutan juga disampaikan oleh Saeful Uyun, M.Pd,[160] menurutnya "adanya pro kontra berkait agama difasilitasi secara akademis sebagai proses pembelajaran". Ungkapan senada disampaikan Pengasuh Pesantren al-Mizan, H. Maman Imanul Haq,[161] dalam kehidupan dan keanekaragaman penganut agama, multikulturalisme seperti ini, interreligious studi diharapkan "dapat mengembalikan citra luhur agama, membebaskan masyarakat dan memberi kotribusi mengatasi konflik dan ketegangan yang berhubungan dengan agama".
Menampilkan wacana agama yang dapat memahami keragaman adalah kebutuhan penting untuk masyarakat saat ini. Menurut A. Gani OSC,[162] "interreligious dapat menjembatani komunikasi antar umat beragama, media atasi konflik, memajukan umat, dan sosialisasi agama bukan konflik". Namun penting pula diingat, jangan sampai mencari kesalahan-kesalahan dan keburukan salah satu agama, harap M. Mahmud Shilahuddin. Menurutnya "sebagai kajian ilmu harus obyektif, tak memperdayai dan memiliki benteng yang kuat agar tak merugikan".[163]
Dalam keragaman agama, interreligious diharapkan Edi Suripno, S.Ip.,[164] "dapat menjadi perekat sekaligus memantapkan pluralisme agama". Hal senada juga diharapkan H. Moh. Farid,[165] "bisa menyikapi perbedaan secara proporsional dan menghindari sikap eksklusif. Berkait dengan isu sensitif agama, interreligious menurut YC Abu Kasman OSC,[166] dapat menjadi departemen yang mengkaji filsafat, teologi dan kitab suci untuk menemukan kebenaran universal. Selain itu juga, "mencari nilai-nilai universal yang dapat membangun harmoni". Harapan juga disampaikan Johanes M,[167] "itu penting untuk kajian keilmuan dari agama-agama", lanjutnya "juga baik untuk membina hubungan baik, saling menghormati dan karya sosial", tokoh Budis Dr. Iwan Satibi[168] dan Romo Djunaedi menyambut positif. Itu bagus "teruskan saja, saya mendukung", ujar Iwan Satibi. Memahami perbedaan penting, bukan untuk memperuncing, tetapi memperkuat kerukunan, sambut Djunaedi.[169]
Interreligious tidak mengupas masalah aqidah, tetapi hubungan, mencari sinergi yang saling memahami bagaimana menata kehidupan. Demikian pandangan Drs. Masykur.[170] Menurutnya, "interreligious mampu menjembatani krisis dan fanatisme ajaran, dikembangkan menjadi hubungan kemanusiaan". Ismanuddin [UMC][171] meminta agar tujuan yang kongkrit, dan berangkat dari realitas. Sementara KH. Ahsin Sukha Mohammad,[172] interreligious baik, tapi "jangan sampai mengorbankan agama masing-masing, dan bukan untuk menekan orang lain". Perbedaan adalah rahmat, dan interreligious dapat "memupuk kemajemukan etnis dan agama", harap Steve Mardianto, M.Th.[173] ”Semoga pimpinan yang memahami pluralisme dapat terlahir dari sini”, tambahnya.
Untuk menyambut harapan-harapan ini, tentu membutuhkan forum interreligious yang kredible. Forum yang sudah ada dapat menjadi pacemaker dalam meletakkan dasar-dasar komunikasi yang memadai. NGO biasanya kuat secara lembaga, tetapi tak ada jaminan formalitas. Forum-forum musiman biasanya ada inisiasi, tetapi tak memiliki lembaga dan formalitas. Perguruan Tinggi mungkin ada secara lembaga dan formalitas, tetapi aspek pendanaan juga sangat terbatas. Forkama apalagi, sangat tidak jelas keberadaannya. Jalan yang dapat ditempuh mungkin membentuk "Forum Studi Bersama".

E. Kesimpulan
1) Menentukan pilihan agama dan keyakinan di wilayah III Cirebon [Cirebon, Indramayu, Majalengka dan Kuningan] belum mendapat jaminan kebebasan sebagaimana harapan semua penganut agama yang menghendaki ketenangan dan kedamaian.
2) Menentukan pilihan agama dan keyakinan masih merupakan dilema yang mengganggu kenyamanan psikologis, bahkan sampai pada kekerasan yang mengancam jiwa.
3) Kurangnya informasi [lack of information] dari penganut agama menjadi ganjalan interreligious yang ditunjukkan dengan munculnya kecurigaan, kekerasan pada penganut agama berbeda, penyesatan, gap, kecemburuan, bahkan politisasi agama.

D. Rekomendasi
Berdasar temuan masalah dan kesimpulan diatas, berikut ini penulis rekomendasikan kepada berbagai lembaga sosial, ormas, parpol, Kampus, Pemerintah Daerah, Agamawan, peneliti dan lembaga-lembaga keagamaan atau forum-forum lintas agama untuk:
1) Membentuk lembaga studi atau forum bersama yang dapat meminimalisasi bias dari lack of information [kurang informasi], memfasilitasi kajian agama-agama, civil society, dan cross cultural studies yang dapat memantapkan hubungan antar agama [interreligious] secara memadai.
2) Perlu penelitian lanjutan untuk melihat masalah secara lengkap. Sebagai penelitian lanjutan untuk temuan ini, sehingga menjadi kesinambungan penelitian secara utuh dan saling melengkapi.












[126]Fazlur Rahman, Mayor Themes of The Holy Quran, (Chicago: Biblio Techja Islamica, 1980), h. 37.
[127] Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, (Bandung: al-Ma'arif, 1995), h. 178.
[128] Agama adalah pandangan hidup yang akan terpatri dalam jiwa seseorang yang meyakininya la tak akan hilang, dan menjadi bagian paling asasi [ultimate concern], lihat dalam Endang Saefuddin Anshari, Ilmu Filsafat dan Agama, (Surabaya: Bina Ilmu, 1983), h. 117.
[129] Untuk melihat kajian menarik tentang hubungan agama, manusia dan Tuhan dapat dilihat dalam Ali Akbar, God and Man. Allah dan Manusia, Akar Kejadian. Hari Akherat, al-Quran dan Sains Modern, [Terjemah oleh Ahmad Rais], (Surabaya: Bina Ilmu,1989), h. XI [Pendahuluan]. Bandingkan dengan Mohammad Hamidullah, Pengantar Studi Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), h. 109.
[130] Agama diyakini sebagai dasar yang paling kuat bagi pembentukan moral, sangat sukar mencari penggantinya jika peranannya merosot, Lihat Chotib Thoha, dkk. [editor], Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 297. Lihat makna agama bagi arah dan makna dan tujuan hidup yang tak dapat ditemui dalam kebudayaan materialistik dalam Maryam Jameelah, Islam and Western Society, A. refutation of The Modern Way of Life, (New Delhi: Adam Publisher, Chity Chobar, ,1996), h.307. Bandingkan dengan asas moral agama untuk membentuk manusia kamil dan bebas dalam Syafi'i Ma'arif, Membumikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1995), h.64
[131] Zainuddin Fananie, dkk., op cit, h. 3.
[132] Mark Juegenmeyer, op cit. h. 90

[133] Kehidupan keagamaan di Kuningan ditemui beragam banyak penganut agama. Dari 29 Kecamatan yang dimiliki terdapat total penduduk 1.044.045 jiwa. Mayoritas penduduk ini adalah penganut Islam, mencapai 1.035.437 orang, selebihnya adalah sejumlah 7.056 orang Katolik, 1.068 orang Protestan, 30 Hindu dan 444 Budha. Sejumlah penganut agama ini didukung dengan sarana ibadah sebanyak 697 masjid, 3.864 langgar, 1.621 mushala, 12 gereja dan 1 klenteng, Sumber Badan Pusat Statistik [BPS], Kuningan dalam angka 2002.
[134] Wawancara tanggal 12-05-2005 jam 18.30 dan tanggal 05-06-2005 jam 17.00.
[135] Radar Cirebon, 27/8/2004
[136] Disarikan dari obrolan penulis dan diskusi dengan jama’ah Ahmadiyah 21 Oktober 2003. Lihat pula dalam publikasi Pikiran Rakyat 13 November 2002.
[137] Masalah ini akan diperjelas dalam penelitian berikutnya yang akan melihat dari perspektif lebih luas, aspek sosio-ekonomi dan politiknya dalam penelitian lanjutan Mencari Akar-Akar Diskriminasi Minoritas Agama Untuk Memantapkan Pluralisme Agama.
[138] Dari hasil focus Disscused Group dengan komunitas Ciwaringin pada taggal 14 Mei 2005 jam 10.00 WIB., disebut Dokter Suwanto.
[139] Wawancara dengan Suseno Kurniawan Gereja Pante Kosta Indramayu [GKI], tanggal 9 Mei 2005, jam 18.30 WIB.
[140] Wawancara dengan Nurul Husna [Forum peduli Masyarakat Indramayu. FPMI] dan Edy Sofyan dari Forum Komunikasi Masyarakat Indramayu Barat [FKMIB] pada 9 Mei 2005. Jam 14.00
[141] Wawancara tanggal 16 Mei 2005. jam 14.00 di Pesantren as-Salafy Ciwaringin.
[142] Wawancara tanggal 10 Mei 2005. jam 15.00 di Depag Indramayu.

[143] Wawancara pada 9 Mei 2005, jam 12.43 di DPRD Indramayu.
[144] Wawancara tanggal 12 Mei 2005, jam 12.00 di DPRD Kuningan.
[145] Wawancara tanggal 12 Mei 2005, jam 10.00
[146] Wawancara tanggal 11 Mei 2005, jam 10.00 di Aula STAPIN
[147] Pendamping korban Haur Koneng, aktivis Progres Majalengka, wawancara tanggal 10 Mei 2005, jam 17.30.
[148] Wawancara tanggal 10 Mei 2005, jam 15.30.
[149] Penghayat Cigugur, anak pangeran Jatikusuma. Wawancara tanggal 12 Mei 2005 jam 08.10
[150] Wawancara tanggal 9 Mei 2005, jam 10.00-12.43
[151] Wawancara tanggal 12 Mei 2005, jam 08.10.
[152] Dia anggota MUI Dawuan, LDNU Majalengka. Wawancara tanggal 10 Mei 2005, jam 18.30.
[153] Pembantu Ketua II STKIP Majalengka, Kasi Mapenda Depag Majalengka. Wawancara tanggal 11 Mei 2005, jam 13.30.
[154] Anggota OKI. Wawancara tanggal 9 Mei 2005 jam 18.30.
[155] Ketua Komisi D DPRD Kota Cirebon. Wawancara tanggal 13 Mei 2005 jam 08.00.
[156] Wawancara dengan KH mahfudz MUI tanggal 13 Mei 2005 jam 19.00
[157] Kabag Kesra, Pemda Indramayu, Dekan Universitas Wiralodra. Wawancara tanggal 10 Mei 2005 jam 09.00
[158] Depag Indramayu, Pembantu Dekan III Unwir. Wawancara tanggal 9 Mei 2005 jam 14.00
[159] Wawancara pada 11 Mei 2005 jam 10.00
[160] Depag Majalengka, Ketua STAI Majalengka Wawancara pada 11 Mei 2005 jam 12.00.
[161] Wawancara tanggal 10 Mei 2005 jam 13.30
[162] Gereja Paroki Cigugur. Wawancara pada 12 Mei 2005 jam 09.00
[163] Kesra Pemda Kuningan, Ketua NU Kuningan. Wawancara di rumahnya pada kamis 19 Mei 2005 jam 17.30.
[164] Wakil Ketua DPRD Kota Cirebon. Wawancara tanggal 13 Mei 2005 jam 09.00 di Gedung DPRD.
[165] Depag Kota Cirebon, Muhammadiyah. Wawancara tanggal 13 Mei 2005 jam 11.00.
[166] Gereja Santo Yusuf. Wawancara tanggal 14 Mei 2005 jam 09.15.
[167] Gereja Bunda Maria Cirebon. Wawancara via telepon 14 Mei 2005 jam 10.00.
[168] Wawancara tanggal 10 Mei 2005 jam 17.30.
[169] Vihara Dewi Welas Asih Cirebon. Wawancara tanggal 14 Mei 2005 jam 12.00.
[170] Anggota Dewan DPRD Kabupaten Cirebon.
[171] Koordinator Pascasarjana UMC. Wawancara tanggal 14 Mei 2005 jam 11.00
[172] Pengasuh Pesantren Dar At-Tauhid Arjawinangun. Wawancara tanggal 15 Mei 2005 jam 07.30
[173] Pastor Gereja Bethal Arjawinangun. Wawancara tanggal 15 Mei 2005 jam 08.00

AKAR KEKERASAN MINORITAS dan PROBLEM PLURALISME

Oleh : Moh. Sulhan

Kekerasan yang menimpa kelompok minoritas agama akibat perbedaan pemahaman dengan kelompok mayoritas dominan, merupakan bentuk radikalisme keagamaan[174] yang dapat mencederai kohesivitas masyarakat. Sikap dan pandangan keagamaan yang toleran dan pluralistik, menjadi prasarat penting dalam membangun masyarakat Indonesia yang multikultur. Kemajemukan sosio-budaya dan agama di Indonesia harus menjadi daya dorong yang progresif dalam menjamin keberlangsungan tiap potensi ini, berkembang dan berjalan lebih memadai secara holistik dan integral. Tak diperkenankan atas alasan apapun, mencerai-beraikan potensi yang demikian besar, hanya karena sempitnya perspektif yang dimotivasi oleh premordialisme, baik suku, ras, politik, atau agama. Toleransi dan pandangan pluralisme agama, paling tidak dapat dilihat dari kesiapan dan kemauan untuk menerima perbedaan sebagai karakteristik unik penciptaan.
Tak pernah ada konsep integrasi[175] dalam level apapun, lokal, regional atau nasional, jika terjadi konflik agama. Toleransi dan kesadaran pluralisme akan menjamin keberlangsungan Indonesia, sebagai bangsa paling pluralis di dunia. Sebagai negara kepulauan (archipelagic state) terbesar di dunia, dengan 17.000 pulau lebih, 400 kelompok etnis,[176] dan 600 bahasa dan dialek[177] yang berbeda-beda, menempatkan Indonesia sebagai negara dengan kebudayaan yang sangat beragam. Keragaman bukan saja pada sosial, budaya, etnik, bahasa, tetapi juga keragaman dalam agama dan keyakinan. Islam, Kristen, Protestan, Katolik, Hindu dan Budha, juga ditemui beragam kelompok-kelompok kecil penganut animisme dan dinamisme. Kemajemukan di atas harus difahami sebagai kekayaan bangsa dan dipelihara dalam pengembangan dan pembangunan nasional. Menginkari kebenaran akan kemajukan, hanya akan mengantarkan pada pandangan sempit, ekskusif, intoleran, dan menggiring pada konflik sosial yang berkepanjangan. Bentuk penginkaran ini muncul sebagaimana konflik yang terjadi dalam kasus Poso, Ambon, Maluku, dan juga sejumlah daerah di pulau Jawa dan Kalimantan.
Toleransi dan pluralisme agama, meskipun nilai baru sebagai produk mordernitas, namun menurut Bernard Lewis, bagi agama-agama merupakan kebajikan, sebaliknya intoleransi adalah kejahatan.[178] Toleransi akan menjadi daya perekat dalam membangun integrasi yang harmonis, bertitik tolak pada keseimbangan, dan pandangan positif atas orang lain dan perbedaan. Pluralisme agama menurut Michael Peterson adalah pandangan, dimana semua agama itu dipandang mengajarkan prinsip yang sama, yaitu kebaikan. Meskipun sistem berbeda-beda.[179] Pandangan pluralisme agama bisa diartikan suatu faham atau anggapan yang menyatakan bahwa semua agama itu sah, valid, dan benar, karena berangkat dari tradisi keimanan atau keyakinan. Sementara John Hick[180] tokoh pluralis Kristen, meyakini bahwa berbagai keimanan (agama) di dunia ini meskipun memiliki pandangan berbeda-beda tentang ultimate reality (Tuhan), namun pada hakekatnya akan sama-sama menuju keselamatan, kendatipun dengan jalan yang berbeda-beda, agama yang berbeda-beda. Pluralisme dapat dilihat dari faham umum yang menganut pola hidup terbuka pada kemajemukan, sebagai sunnatullah yang tidak perlu dipaksakan seragam.[181]
Dalam interaksi antar umat beragama yang majemuk di Indonesia, sepantasnya jika pandangan pluralisme agama, dikampanyekan sebagai instrumen membangun harmoni antar pemeluk agama (interreligious harmony). Membangun harmoni antar pemeluk agama yang sama, dan penganut agama yang berbeda-beda. Pandangan agama seseorang akan mempengaruhi cara pandang dirinya (world view), berkait dengan diri dengan orang lain (the other). Inti agama, sebagaimana disebut Toshihiko Izutsu,[182] adalah kepercayaan atau keyakinan. Meskipun kemudian diakui Izutsu, bahwa kepercayaan pada hakekatnya adalah fenomena eksistensi personal. Dalam pengertian ini, kepercayaan sebagaimana digambarkan oleh konsep teologi sekalipun, dengan cara yang sangat khusus, adalah sifat nyata dari kepercayaan sebagaimana keadaan yang sesungguhnya, yaitu sesuatu yang secara aktual hidup dan dialami dalam sejarah seseorang. Agama adalah apa yang nampak pada seseorang. Dengan kata lain, respon dan sikap pemeluk agama terhadap penganut agama lain yang berbeda dalam kontek seperti ini, agama muncul sebagai realitas sosial, sebagaimana diistilahkan oleh Peter L. Berger.[183]
Pandangan pluralisme agama dapat dijadikan instrumen untuk mengakhiri kekerasan agama yang dipicu oleh perbedaan interpretasi, pandangan agama yang eksklusif, dan sikap anti perbadaan. Kasus kekerasan agama ditingkat lokal akibat distorsi pemahaman agama ini menimpa kelompok minoritas agama, Jama’ah Ahmadiyah Indonesia (JAI) Manis Lor di Kabupaten Kuningan.
Jama’ah Ahmadiyah Indonesia (JAI) adalah organisasi yang meyakini agama Islam, menyembah Allah yang Esa, menyebut Nabi Muhammad dalam syahadat, menggunakan al-Qur’an sebagai kitab suci dengan shalat lima waktu yang sama menghadap kiblat, sebagaimana umat Islam yang lain.[184] Namun ada hal-hal yang selama ini menjadi perbedaan, dan tidak sempat didialogkan terkait dengan tuduhan megakui nabi lain selain Nabi Muhammad, memiliki kitab lain selain al-Qur’an. Akibatnya, muncul klaim sesat, aliran menyimpang yang harus dibubarkan di kabupaten Kuningan. Munculnya diskriminasi dan kekerasan ini dipicu oleh vonis Surat Keputusan Bersama (SKB) antar Instansi agama dan ormas-ormas Islam, tertanggal 3 November 2002 tentang pelarangan jama’ah Ahmadiyah di kabupaten Kuningan. Menguatnya tekanan pembubaran kelompok minoritas ini juga didorong oleh keluarnya surat edaran MUI kabupaten Kuningan nomor 13/MUI/kab/11/2003 tentang JAI sebagai aliran menyimpang.[185]
Perbedaan penafsiran, dengan kegiatan keagamaan yang dianggap lain, misalnya ekslusif, diklaim sebagai mengerjakan agama yang dianggap menyimpang atau terjadi penyelewengan ajaran agama yang pokok. Tidak kurang 38 rumah pengikut JAI dirusak dan mesjid dibakar pada 2002.[186] Intimidasi, ancaman dan diskriminasi pada kelompok minoritas berlangsung berlarut-larut sampai saat ini, bahkan pada 20 Oktober 2004, drama kekerasan atas dasar agama kembali menteror golongan minoritas yang dianggap sesat ini. Setidaknya 2 musholah (at-Taqwa dan al-Hidayah) dibakar, pada saat jamaah JAI ini melakukan sholat tarawih dan tadarus al-Qur’an. Kekerasan ini dilakukan oleh kelompok non Ahmadi yang selama ini melakukan teror sebagai tindakan teror karena dianggap melanggar surat keputusan bersama (SKB) yaitu menggunakan masjid dan musholah untuk kegiatan ibadah. Hak-hak sebagai warga negara juga tidak dinikmati sepenuhnya, seperti tekanan pengawas aliran kepercayaan masyarakat (Pakem) tanggal 23 Desember 2002 yang berisi perintah terhadap Polres Kuningan, Depag Kuningan dan Camat Jalaksana untuk menyelidiki PNS dari Ahmadiyah melarang membuatkan Kartu Tanda Penduduk (KTP), dan melarang menikahkan orang Ahmadiyah.
Diskriminasi dan kekerasan pada JAI, ini jelas menciderai kohesivitas masyarakat Kuningan. Dari 1.044.000 penduduk kabupaten Kuningan terdapat 6 agama dan beragam penganut aliran kepercayaan. Data terkahir dari wawancara “Working Group Anti Diskriminasi” dengan Yusron Kholid (Depag) tercatat di Departemen Agama Kuningan 341 agama dan aliran. Ini tentu pluraitas agama yang mesti dipelihara sebagai keragaman Kuningan.
Diskriminasi terhadap 3000 pengikut JAI Manis Lor, akan dapat memicu kekerasan serupa pada penganut keyakinan atau kepercayaan yang besar tersebut. Penelitian ini akan menjadi momentum yang tepat dalam mengusung pluralisme agama di Kuningan dan Indonesia secara umum.
Pluralisme tidak dapat difahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai agama, suku, ras dan sebagainya, sehingga justru mengesankan fragmentasi, bukan pluralisme. Menurut Rumadi[187] pluralisme harus difahami sebagai pertalian sejati dari berbagai macam keragaman dalam ikatan-ikatan rasional yang berperadaban. Bahkan pluralisme juga harus dipandang sebagai keniscayaan untuk keselamatan manusia dengan mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang dihasilkan.
Munculnya diskriminasi di atas, tentu merupakan masalah besar khususnya penciptaan masyarakat yang kohesisif, integral tanpa terpecah-pecah oleh sekat etnis, agama, suku, ras, politik, kepercayaan dan sebagainya. Semua aspek yang berkait dengan munculnya diskriminasi dan kekerasan agama, akan menjadi persoalan yang luas, karena di Kuningan gejala seperti itu bukan hal yang baru. Kasus pembubaran el-Sakani Caracas, diskriminasi Penghayat Cigugur, dan kekerasan pada Ahmadiyah merupakan praktek telanjang kekerasan pada minoritas yang masih berlangsung sampai hari ini.
Melihat luasnya wilayah kajian yang demikian luas, penelitian ini hanya difokuskan pada kasus diskriminasi Jama’ah Ahmadiyah Indonesia (JAI) Manis Lor Kabupaten Kuningan. Masalah diarahkan pada fokus persoalan yang berkait dengan eksistensi Jama’ah Ahmadiyah Indonesia (JAI) Manis Lor, pandangan keagamaan, jaringan dan pandangan masyarakat terhadap keberadaan JAI, akar-akar diskriminasi, kronologi, dan solusi dan harapan-harapan masyarakat.
Secara rinci permasalahan dalam penelitian ini diantaranya difokuskan pada:
1. Faktor apa yang melatarbelakangi munculnya diskriminasi pada Jama’ah Ahmadiyah Indonesia (JAI) Manis Lor?
2. Bagaimana pandangan keagamaan program-program dan jaringan kerja jama’ah Ahmadiyah Kuningan?
3. Bagaimana jawaban Ahmadiyah terhadap tuduhan sesat dari kelompok non Ahmadiyah?
4. Bagaimana kronologi kekerasasn pada minoritas Ahmadiyah ini? Kapan dan dalam bentuk apa saja?
5. Bagaimana pandangan masyarakat memandang kekerasan pada Ahmadiyah ini?
6. Apa harapan-harapan masyarakat untuk mengakiri konflik dan diskriminasi agama?
7. Bagaimana pandangan ormas Islam, tokoh agama, dan masyarakat non Ahmadiyah terhadap pengikut Ahmadiyah?
8. Adakah mata rantai diskriminasi agama dengan bias kepentingan politik kekuasaan elit politik?
9. Bagaimanakah solusi terbaik untuk mengakhiri pada kelompok minoritas seperti JAI ini?
Sebagaimana telah dirumuskan dalam permasalahan, tujuan kajian ini dapat dirinci sebagai berikut:
1. Mengungkapkan faktor-faktor yang melatarbelakangi munculnya diskriminasi pada Jama’ah Ahmadiyah Indonesia (JAI) Manis Lor di Kuningan.
2. Mendiskripsikan pandangan keagamaan, program-program, dan jaringan organisasi JAI Manis Lor Kuningan.
3. Mengungkapkan kronologi diskriminasi dan bentuk kekerasan yang terjadi atau menimpa JAI Manis Lor Kuningan.
4. Mengkomunikasikan jawaban keagamaan JAI atas klaim sesat dari non Ahmadiyah.
5. Mengungkapkan pandangan keagamaan dari tokoh-tokoh agama, ormas Islam non Ahmadiyah.
6. Mengungkapkan harapan-harapan masyarakat pada kasus kekerasan dan diskriminasi.
7. Mencari justifikasi apakah pluralisme agama dapat menjadi alternatif dalam menyelesaikan atau meminimalisir krisis akibat perbedaan intepretasi agama.
8. Merumuskan alternatif-alternatif lain yang ditawarkan masyarakat berkait dengan diskriminasi agama.
9. Merumuskan solusi terbaik berkait dengan diskriminasi kelompok minoritas agama.
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan yang berarti bagi tumbuhnya komunikasi antar penganut agama dan kepercayaan sehingga dapat menghindarkan terjadinya konflik antar agama. Secara lebih khusus penelitian ini dapa memberikan pemikiran mengenai:
1. Memberikan gambaran secara komprehensip eksistensi Jama’ah Ahmadiyah Indonesia (JAI) Manis Lor, pandangan keagamaan, program dan jaringan organisasinya.
2. Memberikan masukan, baik ke lembaga pemerintah, organisasi keagamaan, organisasi kemasyarakatan, lembaga pendidikan dan lainnya tentang gambaran riil, obyektif, tanpa memihak, keberadaan JAI Manis Lor.
3. Merekam data dan kasus-kasus kekerasan atas kelompok minoritas agama secara obyektif.
4. Memberikan masukan atau solusi kepada masyarakat banyak dalam upaya meminimalisasi terjadinya kekerasan dan diskriminasi atas kelompok minoritas.
Penelitian ini berangkat dari berbagai pemikiran para tokoh yang sudah dipublikasikan di berbagai media dan juga nara sumber yang langsung berkaitan dengan objek penelitian khusunya yang berhubungan dengan diskriminasi dan kekerasan pada kelompok minoritas.
Diskriminasi Ahmadiyah adalah problem serius keagamaan yang dapat mengganggu hubungan antar penganut agama. Diskriminasi menjadi hambatan di masyarakat, karena dalam diskriminasi mengindikasikan adanya penindasan, peminggiran dan ketidak adilan. Karena itu, setiap tafsir atas agama sebisanya menghindari penafsiran yang diskriminatif.[188]
Sebagai agama mayoritas di Indonesia, menurut Zahlani Zain,[189] Islam harus menjadi parameter penentu terciptanya keberlangsungan hubungan mayoritas-minoritas yang harmonis, terutama dalam memberikan perlindungan terhadap kelompok minoritas, baik minoritas agama, maupun etnis. Dalam hal ini Islam dihadapkan pada peluang dan tantangan yang cukup berat dalam kontek masyarakat majemuk Indonesia. Tantangan sejauh mana Islam dapat mempelopori terbangunnya hubungan yang harmonis dan tidak diskriminatif.
Munculnya praktik diskriminatif, ditengarai Very Verdiansyah[190] banyak menciptakan ketidaknyamanan. Menurutnya, ada banyak faktor mengapa hubungan antar mayoritas dan minoritas sering ditampilkan dalam corak diskriminatif, sehingga dalam banyak hal merugikan kalangan minoritas. Salah satunya adalah adanya klaim kebenaran [truth claim] yang tidak disertai kedewasaan ekspresi keagamaan. Menurut Very, beberapa sikap keberagamaan seperti absolutisme adalah kesombongan intelektual, eklusivisme adalah kesombongan sosial, fanatisme adalah kesombongan emosional, ekstrimisme adalah berlebih-lebihan dalam bersikap, dan agresifisme adalah berlebih-lebihan dalam melakukan tindakan fisik. Tiga penyakit pertama merupakan representasi dari kesombongan [‘ujub], dan tiga penyakit yang terakhir adalah representasi sikap berlebih-lebihan [tatharruf].
Diskriminasi hubungan mayoritas-minoritas agama sebagaimana Ahmadiyah dan terutama etnis yang sering muncul ke permukaan, lebih banyak berkait dengan konflik kepentingan yang dikemas dengan simbol-simbol agama. Boleh jadi kesenjangannya adalah ekonomi [kesejahteraan], perbedaan kepentingan politik maupun perbedaan etnis itu sendiri. Akhirnya konsep kebenaran dan kebaikan yang berakar dari agama dipelintir menjadi alasan pembenaran atas penindasan kemanusiaan. Islam sama sekali tidak membenarkan tindakan penindasan atas nama agama. Karena tindakan tersebut jelas-jelas bertentangan dengan nilai-nilai luhur Islam itu sendiri, sebab Islam mengajarkan kedamaian yang seringkali dicitrakan sebagai rahmat semesta alam [rahmat lil alamin]. Segala tindakan dinyatakan benar atau salah dilihat dari tujuannya. Namun, tidak semua tujuan baik dapat membenarkan segala tindakan.
Kekerasan atas alasan agama bertentangan dengan fitrah agama yang membawa keselamatan agama, yang seharusnya menjadi nilai-nilai universal sebagai dasar untuk bersikap dan berperilaku [basic principle of life], belum sepenuhnya difahami secara utuh. Agama masih dibaca secara sefihak, yang justru melahirkan cara pandang yang eklusif, fanatisme berlebihan yang cenderung diskriminatif. Agama dalam posisi ini cenderung dipolitisir, dimanipulasi, sehingga kehilangan prinsip penghargaan pada kemanusiaan, kerahmatan, kebijaksanaan dan anti perbedaan.[191] Padahal perbedaan adalah pintu utama [maingate] untuk saling melengkapi, saling mengisi, saling belajar satu sama lain, sehingga manusia memiliki martabat, kemuliaan dan peningkatan subyektifitas diri pada pergaulan pada sesama.
Fitrah manusia adalah berbeda-beda. Pemaksaan pada penyeragaman berarti melawan fitrah keperciptaan manusia. Termasuk keragaman ini adalah berkait intepretasi keyakinan dan agama. Tuhan sendiri yang menghendaki manusia itu harus seragam [wa lau sâ’a Allah laja’alakum ummatan wâhidatan],[192] tetapi justru diciptakan dalam keragaman sebagai tanda-tanda kebesaran Allah untuk umatnya agar mau berfikir [wa min âyatiħi khalq as-samâwâti wal alrdh wakhtilâf al-sinatikum wa al-wânikum]. Keragaman hanyalah sebagai ujian terhadap apa yang datang pada manusia.[193] Keseragaman adalah kebekuan, bahkan disebut nabi akan menggiring pada kehancuran, sebab keseragaman memuat statisme, kontra produktif dan musuh dari dinamisme [lâ yazal an-nâs fi khair mâ tabayyanû wa in tasawwû halaqû]. Manusia memiliki banyak identitas, baik yang berkait dengan suku, agama, ras, golongan, maupun status sosial. Identitas-identitas tersebut merupakan sesuatu yang given, dan sebagian yang lain merupakan konstruk sosiologis. Karena itu, menurut Budi Munawar Rahman[194] pluralisme sebagai realitas sosial, merupakan sunnatullah yang tak mungkin dapat ditolak oleh siapapun. Menolak kenyataan pluralisme sama dengan menolak sunatullah. Sebagai sunatullah, pluralisme sengaja didesain Tuhan untuk dinamika kehidupan manusia.
Radikalisme yang memaksakan umat harus satu, disebut Zainuddin Fananie dkk.,[195] sebagai kekerasan agama. Biasanya dipicu oleh keyakinan, perbedaan kepentingan ajaran, hubungan personal dan masyarakat. Kecenderungan umum dari radikalisme, memaksakan umat harus satu, yang tak sejalan dianggap musuh, kafir, menyimpang atau sesat adalah sikap berlebihan yang merebut hak Tuhan pemilik kebenaran. Manusia tak dapat memaksakan suatu kebenaran, keyakinan pada orang lain. Kebenaran itu merupakan otoritas Tuhan. Manusia sangat terbatas dalam membaca dan menangkap kebenaran dari teks-teks keagamaan. Ia dibatasi oleh kecerdasan [keterbatasan akal], latar belakang sosial budaya, keadaan pisik, lingkungan, sumber bacaan dan pemahaman. Bahkan pengaruh politik yang melingkupinya. Manusia dapat mensosialisasikan, menyampaikan, tetapi bukan memaksakan. Pembakaran dan kekerasan pada kelompok minoritas yang dianggap menyimpang, merupakan bentuk arogansi, sekaligus ketidaksiapan menerima keragaman.
Tak dapat dipungkiri, konflik antar umat selalu mewarnai gelombang sejarah manusia dalam radius kewilayahan manapun[196] merupakan implikasi langsung dari klaim kebenaran praksis normative agama. Menurut Aliya Harb[197] dalam mengentaskan diametrik nisbi itu, sangat memerlukan pembumian makna kebenaran agama yang bernuansa toleran, inklusif, akomodatif, egaliter dan apresiatif. Pemahaman pada lingkaran pluralisme kebenaran agama, secara langsung dituntut untuk memiliki landasan interaksi sosial yang mengutamakan keterbukaan teologis, sehingga klaim-klaim kebenaran dan keselamatan antar agama, antar pemeluk, penganut suatu keyakinan tidak terluapkan secara frontal sebagai konflik.
Membangun pandangan agama pluralis,[198] penting untuk mengakhiri kekerasan atas nama agama. Teologi pluralis dianggap memiliki dimensi pembebasan dan tujuan ideologi untuk kepentingan sosial yang mencerahkan.[199] Dengan demikian umat agama akan lebih berpeluang dalam menghadirkan peran sposial agamanya. Sebab menurut Ahmad Fuad Fanani[200] esensi kebenaran sebuah agama sejatinya terletak pada jawaban atas problem kemanusiaan. Sebab sesungguhnya sejak awal, agama memiliki misi suci untuk menyelamatkan dan menuntun manusia menuju jalan hidup yang benar.
Latar belakang budaya dan agama yang beragam, menurut Robert W. Hefner[201] di Indonesia, Islam dapat mengakomodasi tantangan pluralitas, yang merupakan sisi lain dari modernitas. Untuk itu cara pandang keagamaan harus mencerminkan pada usaha menghargai perbedaan. Dalam bahasa Bahtiar Effendi, optimisme pada pluralisme agama, akan mendorong kesadaran dan sikap hidup yang lebih toleran dan terbuka terhadap pluralitas agama di Indonesia. Untuk mencapai tujuan ini membutuhan religious literacy yang dimaksudkan Aloys Budi Purnomo,[202] dengan sikap terbuka terhadap dan mengenal nilai-nilai agama lain. Singkatnya religious literacy adalah sikap melek agama lain. Dengan melek agama lain orang bisa saling mengenal, saling menghormati, menghargai dan saling mengembangkan dan memperkaya “kehidupan” dalam sebuah persaudaraan sejati antar umat beragama, apapun agamanya. Sikap melek agama ini pada gilirannya dapat membuat setiap umat beragama yakin, sadar akan identitas keagamaan dan keimanannya dalam semangat keterbukaan. Penghargaan dan penghormatan agama orang lain sebagaimana dijamin negara dalam UUD 1945 pasal 29 dan dijamin oleh Deklarasai Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM) tentang kebebasan agama.
Pluralisme agama diharapkan dapat meredam munculnya kekerasan agama yang disebut Mamoon al-Rasyid[203] bersumber dari rasa keberceraian (sense sparateness). Keberceraian antar individu, sekte, komunitas dan bangsa. Keberceraian akan menggiring pada pertentangan, di mana puncaknya akan sampai benturan kepentingan yang rawan persaingan dan konflik. Keberceraian biasanya akan berakhir dengan disharmoni dan kecewaan.
Di tengah kebangkitan global kererasan agama,[204] wacana perdamaian, persaudaraan akan membawa warna kesejukan. Tentu mencapai kondisi seperti ini, sebagaimana disebut Mark Juergen Meyer[205] bahwa kekerasan, radikalisme, secepatnya diakhiri dan menempatkan peran sentral agama bagi tegaknya tatanan publik dan terpeliharanya rasa aman masyarakat. Kondisi ini akan terwujud manakala tidak mencampuradukkan agama dan politik. Jika ini terjadi, sering kali agama hanya sebagai alat dan karenanya terjadi desakralisasi. Membangun pluralisme perlu dialog secara terbuka. Istilah yang digunakan Nurkholis Madjid[206] dengan membangun dialog peradaban dan dialog keterbukaan.
Penelitian ini menggunakan metodologi kualitatif yang berlandaskan etnometodologi, yang biasa disebut dengan penelitian etnografik. Melalui metode ini dilakukan dengan membagi tahap-tahap kerja penelitian, yaitu: telaah awal, persiapan penelitian, terjun ke lapangan, perekaman hasil temuan, analisis dan pemaknaan. Semua tahapan di atas merupakan satu proses yang satu sama lainnya merupakan bagian yang tak terpisahkan.
Objek penelitian dipilah menjadi dua. Pertama, adalah obyek material yang berkaitan dengan dokumen, reference, liputan pers, dan kegiatan yang dilakukan Jama’ah Ahmadiyah Indonesia (JAI) Manis Lor Kuningan (program kerja). Kedua, adalah pelaku atau anggota Jama’ah Ahmadiyah Indonesia (JAI) Manis Lor dan masyarakat yang selama ini diprediksi mengetahui keadaan JAI tersebut. Seperti masyarakat sekitar dimana JAI berada. Identifikasi terhadap obyek ini didasarkan pada status, kedudukan, keanggotaan, keterlibatan, dan pemahaman terhadap JAI.
Pengumpulan data dilakukan dengan pengumpulan dokumentasi material dengan teknik catat, rekam, dan simak. Semua dokumen yang masuk kemudian dikelompokkan berdasar kategori permasalahan atau fokus kajian. Disamping itu, pengambilan data dilakukan dengan wawancara. Responden yang diwawancarai adalah mereka yang diidentifikasi sebagai obyek kedua dan dipandang memiliki keterlibatan yang intens (anggota atau pengurus) dengan setiap persoalan dan masalah yang dihadapi JAI.
Adapun awancara dilakukan dengan cara unstucture interview, maksudnya peneliti mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara bebas tanpa terikat pada pertanyaan tertulis. Keadaan ini diamksudkan agar wawancara dapat berlangsung luwes dengan arah yang lebih terbuka. Dengan demikian, akan diperoleh data yang lebih kaya dan bervariasi dan pembicaraan tidak akan terpaku pada draf yang telah disiapkan. Namun, secara garis besar materi wawancara yang dikembangkan akan difokuskan pada persoalan-persoalan eksistensi JAI Manis Lor, program kerja, jaringan organisasi. Di samping itu dikembangkan persoalan yang berkait dengan interpretasi ajaran, dan persoalan-persoalan yang dihadapi (diskriminasi dan kekerasan) dan dampak yang menyertainya secara sosiokultural-politis. Selain model wawancara terbuka, pengembangan wawancara dilakukan dengan model snowball, yaitu pengembangan responden berdasar informasi dari responden yang telah diwawancarai. Karena obyek penelitian ini para pelaku, kemungkinan-kemungkinan terjadi distorsi data sangat besar. Untuk mengeliminasi ketidaksahihan data yang masuk maka akan dilakukan kritik dengan cara crossing data. Sehingga akurasi dapat dicapai. Untuk menunjang kelengkapan data, juga dilakukan kajian dokumen, baik penelitian yang sudah ada yang dipandang relevan atau sumber-sumber lain yang dapat dieksplorasi sebagai sumber data.
Analisis dilakukan dengan model deskriptif kulitatif. Maksudnya, data-data yang diperoleh di lapangan terlebih dahulu dikelompokan berdasar kualitas dan kategorinya. Kategori data dikelompokan menjadi berapa bagian (1) data yang berkait dengan eksistensi dan program JAI Manis Lor Kuningan, (2) data yang berkait dengan pandangan atau aspirasi masyarakat terhadap JAI Manis Lor, (3) data yang berkaitan dengan kasus-kasus yang muncul, (4) data yang berkait dengan harapan masyarakat terhadap konflik dan kekrasan minoritas, (5) data yang berhubungan dengan implikasi psikologis, sosiologis dan politis, berkait JAI dan masyarakat. Data yang sudah dikategorikan kemudian diinterpretasikan dengan model interpretasi surface structure maupun deep stucture. Interpretasi surface structure adalah interpretasi teks dan fakta, dalam hal ini pemaknaan terlebih dahulu difokuskan pada persoalan yang tertuang dalam teks atau realitas yang muncul, dari interpretasi ini kemudian dikembangkan kepada interpretasi deep structure, yaitu interpretasi yang mengungkap makna-makna tersirat di balik aktivitas yang dilakukan atau respon masyarakatnya. Dari analisis yang dilakukan diharapkan akan diketahui bagaimana realitas sebenarnya keberadaan JAI Manis Lor dalam menyiasati perbedaan, perubahan, hubungan masyarakat. Dari analisa diharapkan dapat dirumuskan beberapa solusi persoalan berkait kekerasan dan diskriminasi JAI Manis Lor. Hasil analisis dan rumusan solusi kemudian disusun secara sistematis dalam bentuk laporan dengan model deskriptif.

A. Temuan Lapangan
Ahmadiyah sebagai kelompok minoritas di kabupaten Kuningan, merupakan entitas masyarakat yang sekarang ini mengalami tekanan psikologis yang paling berat. Sebagai bagian dari masyarakat Kuningan yang ikut membayar pajak, komunitas yang berbasis di desa Manis Lor ini, sepertinya tersingkir dari percaturan kehidupan masyarakat Kuningan. Ahmadiyah tak memperoleh perlindungan yang memadai sebagai hak warga bangsa yang telah membiayai anggaran negara. Malah gejala yang muncul, pemerintah Kuningan, sebaliknya ikut terlibat dalam skenario pembubaran dan penyegelan kelompok jama’ah yang punya jaringan dengan komunitas Islam Internasional yang berpusat di Inggris ini. Gejala seperti ini nampak, dari sikap mendua Pemda, yang hanya mengikuti keinginan dan permintaan kelompok mayoritas, yang saat ini sedang menjadi mainstream, basis utama masyarakat Kuningan. Aparat keamanan, pemerintah daerah, Majlis Ulama, Departemen Agama, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Kejari yang menjadi representasi kekuasaan negara, malah berlawanan memusuhi dan melegitimasi keberadaan Ahmadiyah sebagai minoritas agama yang harus dibubarkan di Kuningan.
Persoalan Ahmadiyah di Kuningan saat ini bukan saja menjadi domain wilayah agama, tetapi sudah bercampur baur dengan berbagai kepentingan ekonomi, sosial, budaya, ideologi dan politik yang ikut terlibat dalam menentukan hitam putihnya Ahmadiyah di kabupaten Kuningan. Kasus-kasus yang dialami kelompok Ahmadiyah misalnya, perusakan rumah, pembakaran masjid, pemboikotan Akte Nikah, Akte Lahir dan Kartu Tanda Penduduk [KTP]. Selanjutnya, teror, intimidasi dan penyegelan aset jama’ah,[207] merupakan sublimasi dari beragam masalah yang ikut terlibat dalam kasus Ahmadiyah ini.
Dari beragam diskriminasi dan kekerasan kelompok minoritas yang memiliki sistem khilafah dan seorang pemimpin rohani ini, setidaknya dapat dianalisa dari beragam sudut pandang. Diantaranya ialah:
A.1. Masalah yang berkait Perbedaan Intepretasi Tafsir Agama
Masalah perbedaan pemahaman teks agama dan tafsir keagaman merupakan faktor utama yang menimbulkan penyesatan dan kekerasan pada jama’ah Ahmadiyah di Manis Lor. Perbedaan berkait tafsir keagamaan, ini misalnya dapat dilihat dari perbedaan pemahaman konsep wahyu, jumlah nabi, tempat ibadah haji, makmum pada imam lain non Ahmadiyah, pernikahan wanita Ahmadiyah pada non Ahmadiyah, sampai perbedaan berkait konsep kenabian [lihat bab III B]. Hal yang paling menonjol adalah berkait konsep Nabi ini. Ahmadiyah mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai Isa al-Masih yang diturunkan ke dua kalinya ke dunia, sebagaimana banyak disebut dalam al-Qur’an dan Sunnah. Pengakuan sebagai nabi yang diutus Tuhan ini dianggap menyimpang dari Islam. Perbedaan persepsi ini berkembang meluas, sementara komunikasi terhambat. H. Didi Rasidi, dari Departemen Agama Kuningan menganggap Ahmadiyah sudah keluar dari Islam, karena mengakui nabi setelah nabi Muhammad. Menurutnya, ”Dalam Islam nabi terakhir itu, ya nabi Muhammad, tak ada nabi lagi setelah dia, Ahmadiyah menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi”. Sementara menurut H. Dudung Mz., Mu’alim Ahmadiyah Manis Lor, mengatakan ”Ahmadiyah memandang nabi dalam pengertian umum [nubuwwah al’âmmah, ghairu tasyriy]’, yang tidak membawa syariat baru [an-nubuwwah at-tasy’ri’iyyat], meskipun memperoleh wahyu hakiki. Syariat yang diajarkan tetap syariat yang dibawa oleh nabi Muhammad. ”Ahmadiyah mengakui nabi yang dijanjikan, dan itu sudah diyakini datang, yaitu Mirza Ghulam Ahmad”, tambahnya.[208]
Miskomunikasi dan ketegangan ini berlarut-larut, sampai akhirnya terbit fatwa MUI Kuningan nomor 86/MUI-KFH/X/2004 tentang penyimpangan ajaran Ahmadiyah, dan Surat Keputusan Bersama [SKB] antara Muspida, pimpinan DPRD, MUI dan ormas Islam, tertanggal 3 Nopember 2003 tentang pelarangan jama’ah Ahmadiyah di kabupaten Kuningan. Kebebasan Ahmadiyah otomatis jadi terganggu, tak dapat melaksanakan kegiatan ibadah, akibat fatwa dan SKB ini. Tuntutan pembubaran semakin memuncak, dan buntutnya sampai perusakan 38 rumah milik pengikut jama’ah Ahmadiyah, penyegelan tempat ibadah [masjid, mushola] dan tempat pendidikan, sekolah milik jama’ah ini. Pembakaran mushola dan masjid dianggap sebagai sangsi dan bentuk hukuman atas tidak diindahkannya fatwa MUI dan SKB, yang tetap menggunakan mushola/masjid sebagai tempat ibadah. Pengakuan Nana dari Gerakan Anti Maksiyat [Gamas] Kuningan,[209] ”Ahmadiyah telah menodai ajaran pokok Islam, ia sudah menyimpang jauh dari Islam, kami meminta pada Pemerintah Daerah Kuningan memantau, memonitor, menganalisa,” sebab menurut Nana, ”Ahmadiyah telah melanggar Surat Keputusan Bersama [SKB] dengan tetap melaksanakan aktivitas mereka”.
Ketua DPD jama’ah Ahmadiyah Kuningan, Kulman Tisna Prawira menyayangkan terbitnya SKB tersebut, yang seolah-olah melegitimasi Ahmadiyah sesat. Menurutnya, ”Tak benar, kami membawa ajaran Ahmadiyah, karena yang dibawa Ahmadiyah dan diajarkan Ahmadiyah adalah ajaran Islam yang bersumber pada al-Qur’an, Sunnah dan Hadits”. Dalam kegiatan sehari-hari lanjutnya, ”Ahmadiyah tak pernah berbuat meresahkan. ”Kami patuh pada hukum, tak pernah membuat noda kepada pemerintah, misalnya meresahkan, mengganggu ketertiban, keamanan dan menghambat pembangunan,” kata Kulman.
Diskarmoni dan keadaan tak menentu ini terus berlanjut dengan dilarangnya memperoleh Kartu Tanda Penduduk [KTP], dilarang menikahkan Ahmadiyah, sehingga harus mencari tempat lain di luar Kuningan. Menurut H. Dudung, ”Sampai hari ini sejak keluar larangan menikahkan Ahmadiyah dari tahun 2002, sudah 150 orang Ahmadiyah yang menikah di luar Kuningan. Perbedaan tafsir keagamaan ditambah tiadanya diskusi yang memadai menjadi ganjalan dalam membangun komunikasi antara dua kelompok yang saling berhadapan ini. Situasi ini terjadi akibat adanya deviasi agama yang kehilangan peran sosialnya. Menurut Ahmad Fuad Fanany,[210] esensi kebenaran agama sejatinya terletak pada jawaban atas problem kemanusiaan. Sebab sesungguhnya sejak awal, agama memiliki misi suci untuk menyelamatkan dan mununtun menuju jalan hidup yang benar. Penyesatan, kekerasan sampai pada penyegelan, merupakan pengingkaran peran sosial agama, oleh sebab itu akhirnya terkikis menjadi puncak dari drama praktek diskriminasi di Kuningan.
A.2. Problem Bias Kepentingan Politik
Keterlibatan kepentingan politik dalam ranah agama, merupakan masalah besar yang menyeret agama dalam kondisi dilematis. Pertempuran antara dua sistem kepentingan yang melibatkan dua kelompok berbeda agama atau aliran, setidaknya telah menyebabkan penganut agama diklaim sesat. Masalah politik yang terlibat dalam masalah konflik agama, ini jelas sekali pada kasus Ahmadiyah ini. Ahmadiyah, meski minoritas di Kabupaten Kuningan, tetapi mayoritas di desa Manis Lor. Dari jumlah sekitar 4.393 jumlah penduduk Manis Lor [BPS tahun 2004] lebih dari 3000 orang lebih, adalah pengikut Ahmadiyah. Dari potensi besar ini tak aneh jika dari tahun 1954 Ahmadiyah selalu mendominasi kekuasan politik di desa. Berikut aparat yang ada di dalamnya. Dari tahun 1954, hanya sekali Manis Lor dipimpin kepala desa non Ahmadiyah. Kondisi ini memunculkan kecemburuan dari kelompok non Ahmadiyah yang menginginkan kekuasan politik di tingkat desa. Mencari dukungan atas alasan politik semata, selain susah, juga membutuhkan banyak dana. Alasan yang paling mungkin adalah melihat peluang dari sisi sara, agama, sehingga sangat mudah menggerakkan kekuatan masa, jika alasannya aliran sesat. Sesat, menyimpang menjadi isu yang dapat dijual untuk agitasi melakukan perebutan peran, memenangkan legitimasi dan image. Keterlibatan politik dalam ranah agama ini sangat berbahaya. Dalam beberapa kesempatan pertemuan jama’ah Ahmadiyah dengan pejabat daerah atau bupati Kuningan Arifin Setyamiharja, secara jujur diutarakan bahwa, ”sebenarnya bupati riskan untuk memutuskan masalah itu, tetapi desakan dari kelompok-kelompok dan ormas Islam yang memiliki suara mayoritas demikian intensifnya”. Karena menjelang Pilkada akhirnya tetap lolos SKB tersebut. Dari sini nampak bahwa dibalik pelarangan dan tuntutan pembubaran Ahmadiyah telah terjadi semacam ”mekanisme kuasa” meminjam bahasa Ahmad Baso.[211] Politisasi atas kelompok minoritas di sini, nampak dari usaha memanfaatkan kondisi yang kurang menguntungkan kelompok Ahmadiyah, untuk memperoleh dukungan suara umat Islam mayoritas mendukung bupati di Pilkada. Suara kebenaran dan komitmen demokrasi untuk melindungi setiap penganut agama, yang seharusnya dijamin negara, hilang demi alasan politik, menang dalam pilkada. Lebih baik mengubur 3000 suara Manis Lor demi memperoleh bagian besar dari 1.044.045 suara mayoritas umat Islam dominan. Dalam situasi ini menarik menerima usulan Juergenmeyer, untuk memisahkan agama dengan politik, untuk mengembalikan peran agama sebagai sarana menciptakan perdamaian dan basis moral dan landasan Metafisika.[212]
A.3. Perebutan Pengaruh dan Aset Ekonomi
Konflik agama, terkadang tidak sekedar berangkat dari persoalan teologi. Tetapi dalam banyak kasus, hanya merupakan perwujudan dari beragam tarik menarik kepentingan ekonomi, yang kemudian mencari pembenaran melalui saluran agama. Dalam kasus diskriminasi Ahmadiyah Manis Lor Kuningan, ada nampak dari perebutan pengaruh dan sumber daya ekonomi. Di Manis Lor ditemui dua sekolah lanjutan pertama, yaitu MTs Manis Lor [Kepala sekolah dari NU] dan MTs/SMP Amal Bhakti [milik Ahmadiyah]. Kedua sekolah ini, selama ini banyak dipasok dari lulusan atau murid SD I, SD II, SD III Manis Lor. Ketakseimbangan nampak dari jumlah murid yang masuk ke MTs Manis Lor [al-Huda], karena hanya dapat menjaring dari SD I Manis Lor. Sementara SMP Amal Bhakti, dapat menjaring murid-murid dari SD II dan SD III. Ketika SMP Amal Bhakti semakin berprestasi dalam Ujian Akhir Nasional tahun 2000 dan program komputerisasi, ini menjadi awal krisis buat MTs Manis Lor, karena murid SD I banyak pula yang melanjutkan ke Amal Bhakti. Masalah ini kemudian berkembang menjadi sentimen sara, karena berubah menjadi masalah Ahmadiyah dan non Ahmadiyah. Bahkan sampai pada tuntutan untuk membubarkan dan mengaquisisi sekolah dan tanah SMP Amal Bhakti, karena milik Ahmadiyah, meski usaha ini selalu gagal.
Aspek lain, adalah perebutan pengaruh dalam masyarakat. Pada tahun 1998 maraknya reformasi telah sampai di daerah. Sebagai bagian dari program transparansi dan akuntabilitas, ada pembersihan di tingkat desa, bagi aparat yang dianggap terlibat masalah keuangan atau korupsi. Salah satu korban program ini berinisial [NSRD], yang karena dipecat sebagai kesra di desa Manis Lor, kemudian berkolaborasi dengan kepala sekolah MTs Manis Lor, melakukan perlawanan terhadap Ahmadiyah. Karena kepala desa Manis Lor, rival yang telah memecatnya adalah orang dari Ahmadiyah. Di sini kontestasi antara Ahmadiyah dan non Ahmadiyah mulai bersemi sebagai benih konflik antar penganut aliran yang berbeda. Dengan adanya argumen ini, krisis yang terjadi dengan Ahmadiyah di Manis Lor, bersinggungan dengan kepentingan ekonomi. Meminjam analisa Tamrin Amal Tamagola, gejala ini dapat disebut sebagai kontestasi perebutan strategic resources, sumber-sumber kehidupan strategis, ekonomi dan pengaruh, sebagai modal sosial untuk eksistensi.[213]
A.4. Tak Ada Ruang Dialog Publik
Tak ada ruang dialog Publik ini ikut memperparah lahirnya diskriminasi kelompok minoritas. Kondisi umum, tidak adanya ruang dialog yang dapat menjadi media mengembangkan pendapat dan pertukaran informasi menjadikan Kuningan sebagai wilayah gloomy bagi hubungan antar agama. Hal seperti ini nampak dari apa yang dituturkan oleh Abdul Karim,[214] bahwa hubungan antar agama di Kuningan pasif, dingin dan penuh kepura-puraan. Menurutnya, ”dalam hubungan antar agama sudah ada, tetapi dalam kebersamaan misalnya, keakraban dibuat-buat, tak tulus, tetap seperti ada ganjalan”. Begitu juga apa yang disampaiakan oleh Cholil Anwar,[215] pengasuh salah satu pesantren Kuningan ini mencerminkan apa yang sebenarnya terjadi di Kuningan. Berkait dengan diskusi kehidupan, dia merujuk pada kasus Nabi Muhammad, yang sangat menghargai kehidupan, termasuk anjing yang kehausan pun ditolong. Ini semata-mata karena penghargaan pada kehidupan. Namun ketika fokus diarahkan pada kasus hak hidup Ahmadiyah, sepontan dia menjawab, ”Ahmadiyah itu lain, ia sesat, dan harus diperangi”. Dan, ”Jangan sekali-kali kasih kesempatan ke Ahmadiyah, itu sama saja dengan mengakui keberadaannya” tambahnya meyakinkan. Gejala seperti ini menjadi parameter betapa ruang dialog yang seharusnya menjadi pusat klarifikasi, gagal diwujudkan. Menanggapi hubungan antar agama yang cukup pelik dan penuh konflik, menurut M. Khaerul Muqtafa,[216] membutuhkan semacam formula dialog antar agama, ini penting sebagai terapi bagi hubungan agama di Indonesia yang rapuh dan mudah terprovokasi. Menurutnya dengan dialog paling tidak dapat memahami kepercayaan, nilai-nilai, ritus, budaya dan simbul-simbul orang yang berbeda kepercayaan. Dari sini dapat menjadi bekal untuk memahami perbedaan dari orang lain sebagai cerminan kekuatan dan kelemahan diri. Untuk Mengoreksi diri bukan menyalahkan orang lain.
A.5. Bias dari Ketakutan ”the Other”
Secara psikologis, setiap manusia akan dihadapkan pada rasa ketakutan dikalahkan oleh orang lain, ”the other”. Perkembangan Ahmadiyah, yang secara sosial tumbuh besar di kuningan, dengan pengikut yang mencapai 3000 lebih, merupakan problem baru bagi masyarakat yang menganut keyakinan berbeda. Bahasa yang keluar dari Yusran Khalid[217] [Kasi Pontren Kantor Departemen Agama Kuningan] yang menggunakan argumen sosiologis ”Ahmadiyah meresahkan masyarakat” atau ”membahayakan” merupakan pertanda dari ketakutan itu. Ada semacam ancaman yang akan dibawa bila Ahmadiyah, bisa tumbuh. besar dan tumbuh menjadi organisasi agama yang besar dan berpengaruh. Khususnya bagi para agamawan yang selama ini banyak menikamati keuntungan dari posisi keagamaan yang dimiliki di daerah Kuningan. Ahmadiyah dengan demikian dianggap sebagai antologi ketakutan, pesaing bagi maenstream utama. Ahmadiyah menjadi sumber ketakutan bagi kelompok lain, apalagi jika ternyata seluruh fakta, argumen dan logika yang dikemukakan benar dan tak dapat diingkari dengan cara apapun.[218] Akhirnya takut dan munafik melihat fakta kebenaran Ahmadiyah. Ibn Arabi, menyebutkan bahwa orang yang akan menentang kebenaran al-Masih adalah para fuqaha [ulama] yang selama ini banyak diuntungkan agamanya. Jika kebenaran baru muncul ini ancaman bagi posisi dan kedudukan dia di masyarakat.[219] Sementara itu Ahmad Baso menjelaskan akar masalah diskriminasi selain pandangan tentang adanya posisi yang disebut ”mayoritas” berhadapan dengan vonis ”minoritas”, juga berkait pandangan pada ”the other”, pandangan pada agama lain, menyebabkan problem HAM kultural. Menurutnya, pandangan unik agama Islam tentang yang lain ”the other” perlu diintepretasikan dan ditransformasikan agar lebih membawa makna kedamaian, kerukunan, dan adanya toleransi antar manusia.[220]
A.6. Problem Sosial dan Bias Budaya di Masyarakat.
Kekerasan pada Ahmadiyah dapat juga dilihat dari adanya penyakit sosial yang muncul akibat krisis sosial, pengangguran, dan masyarakat yang dilanda budaya kekerasan. Ini nampak dari pelaku kekerasan Ahmadiyah, yang di depan adalah anak belasan tahun yang baru duduk di Sekolah Lanjutan Pertama, dan Menengah. Dari sisi kedewaan berfikir, masih dilematis. Apalagi menentukan kebenaran suatu kepercayaan yang masih baru ia lihat. Ketika ada agitasi, dianggap sebagai penyaluran kreativitas. Hal serupa dapat dilihat sebagai sarana menaikkan harga sebuah organisasi yang tak memiliki agenda memadai. Lihat Gibas, BOM, Rudal, Gerah atau Gamas, yang paling depan dalam kasus Ahmadiyah, semua mengesampingkan proses dialog yang melibatkan Ahmadiyah. Yang ada, adalah apa yang harus dilakukan saat ini. Demo adalah pekerjaan mulia bagi organisasi. Kekerasan pada Ahmadiyah jika tak dilakukan dengan alasan yang benar, berarti merupakan tindakan kriminalitas, dan ini mencerminkan kondisi masyarakat dan budaya yang sedang mengalami patologi sosial yang dilematis.
Argumen komparatif yang disampaikan Pemda Kuningan, bahwa, Arab Saudi, Birma, Myanmar, Malaysia, sudah melarang Ahmadiyah, oleh sebab itu di Indonesia hal serupa juga dapat dilakukan, termasuk Kuningan. Argumen yang dijadikan sandaran sebenarnya kurang mencerminkan realitas yang sedang diperjuangkan di Indonesia. Khususnya ketika negara ini berusaha memperoleh pencapaian demokrasi secara lebih baik dan kedewasaan. Negara-negara yang ditunjuk adalah negara yang problematis, berkait dengan demokrasi dan penegakan hak asasi manusia. Ini tentu menjadi argumen yang tak sejalan dengan UUD 45, Pancasila dan Deklarasi Umum Hak Asazi Manusia, DUHAM PBB. Ahmad Baso, intelektual muda NU, dengan bahasa provokatif memprotes, ”Apa hak Negara Melarang Ahmadiyah”?
A.7. Masalah Hegemoni dan Mekanisme Kuasa Mayoritas pada Minoritas.
Ketika Departemen Agama Kuningan, Majlis Ulama dan ormas Islam menyebut Ahmadiyah sebagai sesat dan menyimpang dari ajaran pokok, sebenarnya sedang terjadi proses satanisasi entitas, meminjam bahasa analisa Mark Jurgen Meyer.[221] Maksudnya, proses penciptaan musuh-musuh setaniah, merupakan proses dari bagian dari konstruksi gambaran perang kosmis, sebagai sarana untuk meredusir kekuatan lawan, dan mendeskreditkan mereka. Dengan mengecilkan dan menghinakan mereka—menjadikan sub human—, salah satu fihak sedang menegaskan keunggulan kekuatan moralnya. Dalam bahasa Ahmad Baso[222] sebagai proses yang disebut dengan narsisisme mayoritas. Dengan Argumen ini tepat apa yang disampaikan ketua MUI Kuningan ketika bertemu lawyer Ahmadiyah, Munassir Siddiq SH, dengan pimpinan DPRD Kuningan dengan mengatakan, ”Apa berani taxi melawan kereta api? Dengan cara ini MUI dan kelompok Islam dominan sedang melakukan proses delegitimasi, sebagaimana digambarkan oleh Spinzak.[223] Dia mengedentifikasikan tiga rangkaian tahapan langkah progresif yang dimaksud untuk mendeskreditkan lawan, merendahkan mereka, dan meredusir kekuatan mereka. Dalam kasus Ahmadiyah bisa dilihat dari pemasangan 12 spanduk ”Awas Ahmadiyah Aliran Sesat”, sebagai tahapan awal melibatkan sebuah krisis kepercayaan [crisis of confidence], menyangkut otoritas suatu komunitas, kemudian konflik legitimasi [conflict of legitimacy] yang di dalamnya kelompok yang menantang ”siap untuk mempertanyakan legitimasi dari seluruh sistem” sampai munculnya fatwa sesat Ahmadiyah dari MUI, dan Surat Keputusan Bersama [SKB] antara Muspida, MUI, Pimpinan DPRD dan ormas Islam, sebagai krisis legitimasi secara penuh. Dalam kondisi seperti ini Ahmadiyah tercemar masuk dalam lingkungan musuh-musuh yang jahat, menjadi species-species sub human berhadapan dengan kelompok yang siap melakukan kekerasan tanpa berpikir dua kali.
A.8. Hilangnya Solidaritas Masyarakat
Hilangnya solidaritas antar masyarakat ini nampak dari mulai susutnya relasi sosial di daerah ini. Dari berita yang berhasil dihimpun penulis dari berbagai sumber, baik tokoh atau media, Pikiran Rakyat, Mitra Dialog dan Media Versus atau Lampu Merah, pelaku kekerasan dan perusakan rumah-rumah jama’ah Ahmadiyah berasal dari luar Manis. Hal ini terlihat dari belasan dan puluhan orang bertopeng yang menggunakan kendaraan mini bus sebagai alat angkot gengnya. Dari sini nampak pelaku datang dari luar Manis Lor. Kejadian yang sering berulang ini tak dapat dibendung karena relasi dan solidaritas masyarakat yang tumpul, sehingga tak ada keberanian untuk melawan, atau mencegah.
Gejala seperti ini menyulitkan untuk mengorganisasi masyarakat melawan diskriminasi. Menurut Enceng Shobirin Nadj.[224] Dari LP3ES, strategi yang dapat dilakukan untuk membendung segregasi sosial dan isolasi, seperti yang dialami minoritas dapat dilakukan dengan melenyapkan instrumen-instrumen diskriminasi pada struktur negara. Selain itu, juga melalui organisasi masyarakat. Bertahannya praktek diskriminasi ini menyebabkan juga hilangnya kemampuan masyarakat untuk mengorganisasi. Hilangnya kemampuan ini membuat masyarakat terfragmentasi. Fragmentasi sosial terjadi misalnya, bahwa orang hanya mempercayai pihak-pihak yang biasa bersentuhan saja. Akhirnya, masyarakat kita hidup dalam dunia saling curiga, mengalami atomisasi. Dan individu-individu mengalami krisis kepercayaan satu sama lain. Akibat lain proses represi tersebut, adalah masyarakat sulit melakukan aliansi dan networking, karena tidak lagi memiliki apa yang disebut kapital sosial yang kini sudah terkikis. Pertama, nilai-nilai yang mengikat kebersamaan yang dipersepsi bersama. Kedua, kepercayaan [trust]. Ketiga, solidaritas. Hilangnya ketiga hal tersebut menyebabkan sulitnya membangun jaringan. Dalam kontek ini, membangun kepercayaan, solidaritas, membangun nilai-nilai bersama adalah bagian dari pengorganisasian ini. Kasus Manis, seperti halnya Cileduk [pembakaran gereja] justru dilakukan orang luar daerahnya. Jika ikatan ini kuat akan berguna untuk melakukan tindakan preventif, pengamanan kolektif mandiri.
B. Membuka Dialog Pluralisme-Emansipatoris.
Kekerasan dan diskriminasi agama yang dipicu oleh perbedaan intepretasi ajaran agama dapat menjadi bencana bagi kelompok yang minoritas, jika tak ada usaha perbaikan komunikasi. Bencana yang dialami Ahmadiyah baik di Parung [2005] atau di Kuningan [2000-2005], bukti dari kemacetan komunikasi yang berujung pada pemaksaan kehendak. Kekerasan agama yang dipicu oleh perbedaan interpretasi keyakinan agama, dapat menjadi bencana kemanusiaan. Jika motif kekerasan karena dimotivasi perbedaan agama, kasus ini dapat disebut sebagai kekerasan agama. Gejala seperti ini akan menambah kecenderungan suburnya budaya kekerasan di Indonesia.
Agama yang seharusnya menjadi nilai-nilau universal atau basic principle of life, sebagai dasar bersikap dan berperilaku, belum sepenuhnya difahami secara utuh. Agama masih dibaca secara sefihak, yang justru melahirkan cara pandang yang eksklusif, fanatisme, yang cenderung diskriminatif. Agama dalam posisi seperti ini cenderung dipolitisir, dimanipulasi, sehingga kehilangan prinsip penghargaan pada kemanusiaan, kerahmatan, kebijaksanaan dan berujung anti perbedaan. Padahal perbedaan adalah pintu utama [main gate] untuk saling melengkapi, saling mengisi, saling belajar satu sama lain, sehingga manusia dapat memiliki martabat, kemuliaan dan peningkatan subjektivitas diri dalam pergaulan sesamanya.
Fitrah manusia adalah berbeda-beda. Pemaksaan terhadap penyeragaman, berarti melawan fitrah keterciptaan. Termasuk keragaman ini juga berkait dengan intepretasi keyakinan dan agama. Tuhan sendiri tidak menghendaki manusia itu harus seragam,[225] tetapi diciptakan dalam keragaman sebagai tanda-tanda kebesaran Tuhan untuk umatnya, agar mau berfikir. Keragaman hanya ujian terhadap apa yang datang kepada manusia.[226] Keseragaman adalah kebekuan, bahkan disebut nabi Muhammad akan menggiring kepada kehancuran. Sebab, keseragaman memuat statisme, kontraproduktif, dan musuh dari dinamisme [lâ yazal an-nâs fî khair mâ tabayyanû wain tasâwû halaqû].
Radikalisme yang dilakukan FPI dan LPPI yang memaksakan umat harus sama, yang tak mau sama dianggap musuh, kafir, infidel, dan menyimpang atau sesat, adalah sikap berlebihan yang merebut hak-hak Tuhan pemilik kebenaran. Manusia tak dapat memaksakan suatu kebenaran, keyakinan, pada orang lain. Kebenaran itu merupakan otoritas Tuhan. Manusia sangat terbatas dalam membaca, menangkap kebenaran dari teks-teks keagamaan. Ia dibatasi oleh kecerdasan, keterbatasan akal, latar belakang sosial budaya, keadaan pisik, lingkungan, sumber bacaan dan pemahaman. Bahkan pengaruh politik yang melingkupinya. Manusia dapat menyampaikan pilihan, pandangan agamanya, tetapi tidak dapat memaksakan kepada orang lain. Perusakan dan intimidasi pada kelompok minoritas yang dianggap menyimpang, merupakan bentuk arogansi, sekaligus ketidak siapan menerima keragaman.
Tak dapat dipungkiri, bahwa konflik antar umat beragama yang selalu mewarnai gelombang sejarah manusia dalam radius kewilayahan manapun, merupakan implikasi langsung dari klaim-klaim kebenaran praksis normatif agama. Menurut Aliya Harb,[227] dalam mengentaskan diametrik nisbi itu, sangat memerlukan pembumian pemaknaan kebenaran agama yang bernuansa toleran, insklusif dan egaliter. Pemahaman akan hidup pada lingkaran pluralisme agama, secara langsung memiliki landasan interaksi sosial yang mengutamakan keterbukaan teologis. Sehingga klaim-klaim keselamatan dan kebenaran antar agama, antar penganut agama, tidak terletupkan secara frontal sebagai konflik.
Kekerasan atas nama agama, dapat mencederai kohesivitas masyarakat. Kasus kekerasan pada kelompok Jama’ah Ahmadiyah Indonesia [JAI] di atas, adalah kasus kekerasan agama, yang jika dibiarkan dapat berlarut-larut. Ini akan dapat menjadi pemicu kasus serupa di daerah-daerah yang sensitif di Indonesia, khususnya berkaitan dengan hubungan natar agama, ras, suku dan politik. Misalnya Ambon, Maluku, Papua, Aceh, dan juga Banjarmasin, yang selama ini menyimpan sekam [trigger], yang setiap saat dapat meletup jadi konflik dan kekerasan. Apalagi keadaan seperti ini diperparah dengan munculnya berbagai kesenjangan sosial, budaya, ekonomi, politik dan ideologi.
Kenapa manusia cenderung mengambil kekerasan? Makmoon ar-Rasyd,[228] menyatakan semua basis kekerasan pada dasarnya rasa keberceraian [sense of sparateness]. Keberceraian, baik yang terjadi antar individu, sekte, di mana puncaknya akan sampai pada benturan kepentingan yang rawan, dengan persaingan dan konflik. Untuk alasan itu, keberceraian selalu berakhir pada disharmoni dan kekecewaan. Memahami akan adanya bibit keberceraian, saatnya untuk berbicara persaudaraan. Islam sebagai agama yang mengajarkan cinta pada umatnya, dapat didesain menjadi instrumen untuk menyelamatkan kemanusiaan. Islam saatnya melihat wilayah kemanusiaan, sebagai perhatian untuk menghindari konflik atas nama agama. Menarik untuk mengusulkan religion for peace atau min al-îman ilâ al-ukhuwah, sebagai tema yang dapat ditawarkan untuk membangun kesefahaman dan pengertian antar pemeluk agama dan keyakinan yang berbeda-beda. Membangun persaudaraan kemanusiaan [ukhuwah insâniyyah], persaudaraan antar iman [interreligious understanding] sebagai warga bangsa.
Dialog ini akan melahirkan interfaith understanding, jika pemahaman akan pluralisme,multikulturalisme, keragaman dan inklusivisme menjadi kesadaran bersama. Manusia memiliki kepala yang berbeda, pemikiran yang berbeda, pemahaman yang berbeda dan pilihan yang berbeda-beda pula. Kelebihan dan keterbatasan harus dihargai. Tak penting membicarakan keburukan atau kekurangan orang lain. Tetapi, hal-hal positif lebih penting dibicarakan untuk secara bersama-sama bersinergi membangun kehidupan. Ikatan rasional atas pemahaman perbedaan ini dapat menjadi pijakan dalam membangun dialog pluralisme-partisipatoris.
Ditengah kebangkitan global kekerasan agama, sebagaimana kasus yang menimpa Ahmadiyah di atas, patut mempertimbangkan wacana agama yang bervisi kedamaian dan persaudaraan. Pilihan ini, setidaknya, akan sedikit memberi warna kesejukan. Tentu, untuk mencapai tujuan ini, sebagaimana disebut Mark Juergenmeyer,[229] mensyaratkan, bahwa kekerasan, radikalisme, secepatnya diakhiri. Saatnya menempatkan peran sentral agama bagi tegaknya tatanan publik dan terpeliharanya rasa aman masyarakat. Kondisi ini akan terwujud manakala tidak mencampuradukkan agama dengan politik. Jika itu yang terjadi, agama seringkali sebagai alat dan karenanya mengalami desakralisasi.
Mengakhiri kekerasan saatnya dibicarakan saat sekarang ini. Kasus kekerasan dan intimidasi Ahmadiyah, merupakan tindakan yang tak dapat ditorerir dari sisi apapun. Kasus seperti ini harus dihentikan. Selain karena itu merupakan penghinaan terhadap fitrah keterciptaan yang berbeda-beda, juga akan memicu lahirnya budaya kekerasan di Indonesia. Mengurangi kekerasan dan membangun dialog pluralisme-partisipatoris, merupakan kebutuhan mendesak untuk mengurangi konflik dan kekerasan agama. Untuk itu, membangun dialog, membuat media komunikasi dapat menjadi jembatan mengatasi kebuntuan.
Dialog dapat dilakukan atas kesadaran tetap berpijak pada keyakinan sendiri, dan disatu sisi menghargai pilihan keyakinan orang lain. Bahasa Masykuri Abdilah,[230] pluralisme atau istilah dia Majemukisme, harus dipersepsi sebagai penghargaan akan keragaman dan kemajemukan agama, budaya, bahasa, suku dan politik, yang berbeda, dengan tetap berpegang pada keyakinan sendiri. Dialog sebagai jembatan membangun pandangan dan sekaligus membuka kran kebuntuan komunikasi. Dalam dialog setiap peserta diharapkan dapat memahami kepercayaan, nilai-nilai, ritus dan simbul-simbul orang lain agar dapat memahami orang lain secara sungguh-sungguh. Dengan memahami orang lain maka akan dapat memahami kadar iman, kekuatan dan kelemahan sendiri. Pemahaman ini penting, dimaksudkan untuk menjadi cerminan diri dan koreksi keyakinan diri sendiri, bukan sebaliknya untuk menguasai lawan yang berbeda agama. Dengan memahami kepercayaan serta budaya orang lain diharapkan akan dapat menemukan dasar yang sama, meskipun ada perbedaan, yang dapat dijadikan landasan untuk hidup bersama di dalam masyarakat.
Dialog pluralisme-partisipatoris ini, agar dapat menghasilkan pengaruh bagi orang yang berbeda agama, paling tidak harus berangkat dari pandangan terbuka mengenai: [1] perbedaan harus dianggap sebagai rahmat Tuhan dan tak diperkenankan bagi siapapun untuk melakukan intimidasi, pemaksaan yang dimotivasi perbedaan. [2] Mengembalikan seluruh penilaian akan iman dan kebenaran kepada suara hati masing-masing pemeluk agama dan menghindari klaim kebenaran atas tafsir agama. Kebenaran biarlah menjadi otoritas Tuhan dan daripadanya perlu menghargai pilihan keyakinan orang lain. [3] Menghargai kehidupan manusia sebagai orang yang sama-sama memiliki hak untuk hidup, berkembang, berkarya dan menentukan pilihan keyakinan sesuai nuraninya. [4] Keragaman merupakan tanda kebesaran Tuhan bagi manusia agar dapat saling belajar, saling memahami dan melengkapi satu sama lain.




























[174]Radikalisme keagamaan adalah gerakan keagamaan yang berusaha merombak secara total suatu tatanan politik atau tatanan sosial yang ada dengan menggunakan kekerasan. Dalam bahasa yang agak berbeda, sebagai pertentangan secara tajam antara nilai-nilai yang diperjuangkan oleh kelompok agama tertentu, dengan tatanan nilai yang berlaku, radikalisme biasanya dikonotasikan dengan kekerasan pisik, biasanya dipicu oleh keyakinan, intepretasi ajaran, hubungan personal dan kemasyarakatan. Lihat secara memadai dalam Zainuddin Fananie, dkk., Radikalisme Keagamaan dan Perubahan Sosial, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2002), h. 1-5.
[175] Integrasi merupakan masalah transkultural, yaitu proses peleburan dan penggabungan semua jala-jala sistem sosial yang ada di tengah-tangah masyarakat hingga terwujudnya sentrum sebagai identitas dan pola orientasi bersama. Dalam kontek Indonesia mengikat kemajemukan ini disebut sebagai ‘integrasi nasional’. Lihat J. Garang, ”Ambivalensi Agama:Antara Dominasi dan Toleransi” dalam Agama dan Tantangan Zaman, (Jakarta: LP3ES, 1989), h. 139.
[176] Nurkholish Madjid, “Islamic Root of Modern Islamic Pluralism, the Indonesian Experience,” dalam Religiosa, volume I, (Yogyakarta: LPKUB, 1995), h. 18. Lihat pula dalam tulisan yang serupa pesannya, “Mencari Akar-Akar Islam bagi Pluralisme Modern, Pengalaman Indonesia” dalam Jalan Baru Islam, Mark R. Woodward (editor), (Bandung: Mizan, 1996). Buku ini merupakan terjemah dari Toward the New Paradigm: Recent Development in Indonesia Islamic Thought, (Ihsan Ali Fauzi, terjemah), h. 91.
[177] Tarmizi Taher, Interreligious Harmony: Indonesian Experience dalam Religiosa Volume I, (Yogyakarta: LPKUB, 1995), h. 1.
[178] Bernard Lewis, The Jews of Islam, (Pricenton: Pricenton University Press, 1997), h. 3-4.
[179] Michael Peterson, Philosophy of Religion: Selected Reading, (New York: Oxford University Press, 1996), h.63
[180] Ibid
[181] Nurcholish Madjid dkk., “Kosmopolitanisme Islam dan Terbentuknya Masyarakat Paguyuan” dalam Agama dan Dialog Peradaban, Nasir Tamara (editor), (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 43. Bandingkan dengan pandangan serupa dari Budi Munawar Rahman, Pluralisme Agama, (Jakarta: Paramadina, 2001), h.77
[182] Tosihiko Izutsi, The Consepts of Belief in Islamic Theology: A Semantical Analysis of Iman and Islam. Dalam versi Indonesia dapat ditemukan dalam terjemahan oleh Agus Fahmi Husein, Konsep Kepercayaan dan Teologi Islam, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994), h. 1.
[183] Peter L. Berger, “The Sacred Canopy”, yang dialih bahasakan Hartono dengan Langit Suci: Agama sebagai Realitas Sosial, (Jakarta: LP3ES, 1991), h.22
[184] Wawancara dengan H. Dudung, seorang Ahmadi, sebuatn pengikut JAI, 20 April 2005 jam 10.00 WIB. Lihat pula dalam, Moh. Sulhan, Tantangan Demokrasi Lokal, Kasus Diskriminasi Ahmadiyah, [Makalah Diskusi Daurah Fiqih Demokrasi Fahmina] di Pesantren Nadwatul Umah Buntet 21 Oktober 2003. Lihat pula dalam publikasi Moh. Sulhan, Kekerasan, .... h. 6. atau wawancara masalah JAI ini dalam ”RUU KUB: Pembonsaian Wacana Agama”, dalam Masolehul Ro’iyyat, edisi 03, (Cirebon: Fahmina Institute, Desember 2003), h. 11- 12.
[185]Laporan menarik menyangkut munculnya diskriminasi dan kekerasan ini bisa dilihat dalam, Ahmad Baso, ”Apa Urusannya ...”. h. 3-4. Lihat pula wawacara Working group Anti Kekerasan, dengan Pejabat Pemda Kuningan dalam, “Pemda Kuningan: Kami Mengakui Ada Diskriminasi Agama”, dalam Diaspora, edisi 3, Agustus 2003. h. 5-7.
[186] Stright News masalah ini bisa dilihat Mitra Dialog (11/2/2003), Lampu Merah (27/12/2002), Media Versus (17/12/2002) Pikiran Rakyat (13/11/2002) dan lainnya.
[187] Rumadi, Meneguhkan Makna Pluralisme, Suara Pembaharuan (28/06/02). Lihat pula tulisan Rumadi yang lain, Menuju Perdamaian Sejati dalam Beragama, Suara Pembaharuan (18/02/2002).
[188] Zuhairi Misrawi, Kerangka Metodologi Tafsir Emansipatoris, Makalah, (Jakarta: P3M, 2004), h. 5
[189] Zahlawi Zain, ”Perlindungan Hak-hak Minoritas” dalam Buletin An-Nadzar, Edisi 32/14 Nopember 2003, h.1
[190] Very Verdiansyah, op cit, h. 145
[191] Moh Sulhan, Kekerasan..., h.6 Lihat pula Moh Sulhan, “Radikalisme Islam ..., h.30-50
[192] QS., 5:48
[193] Ibid
[194] Budi Munawar Rahman, op cit, h. 16
[195] Zainuddin Fananie dkk., op cit, h. 23.
[196] Eskalasi kekerasan di Indonesia misalnya, kasus 27 Juli, amuk Banjarmasin, Situbondo, Tasikmalaya, di lokal wilayah Cirebon misalnya Haur Koneng, el-Sakani, kelompok Penghayat. Argumen anti kekerasa dapat dilihat dalam Abdulrahman Wahid, dkk; Islam Tanpa Kekerasan, Glenn D. Paige, (editor), (Yogyakarta: LkiS, 2001), h. 22.
[197] Aliya Harb, loc cit.
[198] Pluralisme dalam ranah keagamaan sejatinya dapat meliputi dua hal. Pertama, pluralisme internal, memahami adanya perbedaan dalam komunitas seagama. Kedua, pluralisme eksternal, memahami perbedaaan antar masyarakat agama, menerima yang lain (the other) dalam perbedaan agama. Lihat Zuhairi Misrawi, loc cit.
[199] Syarif Hidayatullah, loc cit.
[200] Ahmad Fuad Fanani, loc cit.
[201] Hefner W, Robert, loc cit.
[202] Aloys Budi Purnomo, loc cit.
[203] Mamoon ar-Rasyid, loc cit.
[204] Munculnya pragmentasi dan konflik dapat dipengaruhi oleh pola respon keagamaan seseorang terhadap agama. Tipologinya biasanya berkisar pada (1) ekslusifisme, (2) pluralisme, (3) inklusifisme. Secara orientasi keagamaan dan relasi agama pragmenatasi agama berupa (1) agama idiologi, (2) agama sumber etika moral, (3) agama sebagai subidiologi. Lihat Maskuri Abdillah, loc cit. Sementara W.R. Comstock melihat dengan beberapa pendekatan (1) eksklusifisme, (2) teological, (3) pluralisme, masing-masing memiliki logika, dan basis argumentasi dalam beragama berhubungan dengan perubahan sosial budaya. Lihat dalam Miclael Peterson, loc cit. Menurut persi Burhanudin Daja yaitu, bentuk (1) singkritisme, (2) reconception, (3) conversion, (4) synthesis. Lihat Burhanudin Daja, op cit,, h. 17.
[205] Mark Juergenmeyer, op cit, h. 67
[206] Nurkholish Madjid, Dialog ..., h.96. Lihat pula Nasir Tamara (Editor), loc cit.
[207] Sampai tanggal 10 Desember 2005, saat laporan ini diselesaiakan, pantauan penulis di Manis Lor masih memprihatinkan, tempat ibadah, sekolah dan masjid Ahmadiyah masih disegel, dan tak nampak ada aktivitas kegiatan di tempat-tempat itu. Kondisi yang sangat berlawanan dengan situasi sebelum terjadi kekerasan pada Jama’ah Ahmadiyah Indonesia [JAI] Kuningan di Manis Lor ini.
[208] Wawancara tanggal 12/05/2005 jam 18.30 dan tanggal 05/06/2005 jam 17.00
[209] Radar Cirebon, 27/8/2004.
[210] Ahmad Fuad Fanany, loc cit..
[211] Ahmad Baso, Islam Pasca kolonial Perselingkuhan Agama, Kolonialisme dan Liberalisme, (Bandung: Mizan, 2005), h. 10-23.
[212] Mark Juergenmeyer, op cit, h. 316.
[213] Tamrin Amal Tamagola, dalam kuliah sehari tentang Demokrasi dan politik Indonesia Kontemporer, Cirebon, Fahmina Institute, 2003.
[214] Pejabat Departemen Agama Kuningan. Wawancara tanggal 12 Mei 2005, jam 10.00 di Kantor Depag Kuningan.
[215] Wawancara di Kediaman, Pesantren Darul Ulum Karangtawang Kuningan, 2004, jam 12.00 malam.
[216] M. Khaerul Muqtafa, Reformulasi Dialog antar Agama, dalam www.suarapembaharuan.com/news/2003/03/20/ut04htm.
[217] Kasi Pondok Pesantren Kantor Departemen agama Kuningan, saat bertemu dengan ”Working Group Anti Diskriminasi” dengan Pemda Kuningan, Juni 2003.
[218] Anonim, Membangun Paradigma Baru Dialog antar Agama, www. Hamline.com, 15 Januari 2001.
[219] Ibn al-Arabi, Futuhatul Makiyah, Jilid III, Bab 336. h. 374.
[220] Team Redaksi Diaspora, Membangun Gerakan Bersama Penghapusan Diskriminasi Agama dan Kepercayaan, Diaspora, Edisi II, Juli , Vol. I. 2003. h. 3-4.
[221] Mark Juergenmeyer, op cit,. h. 244-245.
[222] Diaspora, Edisi II, Juli, Vol. 1, 2003.
[223] Ehud Sprinzak, “The Process of Delegitimization: Toward a Linkage Theory of Political Terrorism” dalam Clack MC Cauley, (ed.), Terrorism and Public Policy, (London: Frank Case, 1991), h.55
[224] Enceng Shobirin Nadj, Strategi Advokasi anti Diskriminasi, Diaspora, Edisi III, Agustus, Vol. I, 2003.
[225] QS,5: 48
[226] QS,5: 8
[227] Aliya Harb, loc cit.
[228] Makmoon ar-Rasyd, op cit, h. 27
[229] Mark Juergenmeyer, op cit, h. 72
[230] Masykuri Abdillah, op cit. H. 78. Lihat pula dalam tulisan t. Penulis, loc cit